Sebagai bangsa yang lahir dari pemberontakan melawan gereja dan kerajaan, Prancis telah lama terbiasa dengan provokasi dan humor satire sebagai bagian dari identitas revolusioner mereka. Demikian juga kebebasan untuk mengolok-olok.
Namun tradisi mengolok-olok manusia dan dewa atau Tuhan yang mengakar pada masyarakat ini, memudar dalam lima tahun belakangan setelah serangan kaum jihadis terhadap mingguan satire Charlie Hebdo.
Sebanyak dua juta orang dan 40 pemimpin dunia berbaris di Paris setelah pembantaian pada Januari 2015, membela kebebasan berekspresi yang diperkuat dengan seruan: "Saya Charlie".
Namun saat 17 tersangka akan diadili dalam kasus serangan itu minggu depan, beberapa kalangan masyarakat tampaknya telah kehilangan gairah berkonfrontasi. Dikutip dari RTI, dikenal sebagai "jaringan Sevran", para tersangka diduga mengalami proses radikalisasi di sebuah masjid di pinggiran kota Paris di Sevran.
Kantor berita AFP menulis, hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei Ifop pada Februari tahun ini menunjukkan hanya setengah dari responden Prancis mendukung "hak untuk mengkritik kepercayaan, simbol atau dogma agama." Sebagian besar dari mereka berusia di bawah 25 tahun.
Perubahan besar tradisi
"Di negara yang menyebut dirinya sekuler, Prancis yang menggambarkan dirinya semakin tidak religius, penistaan agama secara paradoks telah menjadi tabu besar," kata Anastasia Colosimo, seorang profesor teologi politik di Universitas Science Po di Paris."Antiklerikalisme atau ateisme semakin dipandang sebagai ofensif dan tidak lagi populer."
Dilansir dari AFP; hal ini adalah perubahan bagi negara pertama di Eropa yang mendekriminalisasi penistaan - secara resmi pada tahun 1881, tetapi dalam praktiknya sudah terjadi setelah revolusi tahun 1789.
"Penolakan konsep penodaan agama tertanam dalam asal-usul republik (Prancis)," kata sejarawan politik Jean Garrigues kepada AFP. "Hal ini terkait dengan sejarah gereja, dengan supremasi gereja Katolik dalam masyarakat Prancis dan kaitannya dengan monarki"-- yang digulingkan oleh kaum republik revolusioner. "Ini adalah sesuatu yang benar-benar menyentuh inti identitas Prancis," demikian ditambahkan Garrigues.
Tetapi beberapa orang telah menunjukkan kecenderungan untuk menyensor diri. Sebagian didorong oleh rasa ketakutan akan pembalasan kekerasan semacam itu yang dilakukan Cherif dan Said Kouachi bersaudara terhadap Charlie Hebdo lima tahun lalu. Demikian dikutip dari AFP.
Serangan itu, yang mengatasnamakan "pembalasan" Nabi Muhammad, merenggut nyawa 12 orang, termasuk lima kartunis.
“Dengan terjadinya serangan tahun 2015 tersebut, di mana nyawa adalah taruhannya, sensor diri semakin kuat,” kata Colosimo. Charlie Hebdo, sebuah terbitan yang sangat sekuler dan antirasisme, mendapat kritik untuk beberapa gambar Muhammad, dan kritikan itu tidak hanya dari muslim.
Bagi Garrigues, kecenderungan yang berkembang untuk menarik diri dari kebebasan berekspresi terutama didorong oleh keinginan kaum politik kiri untuk "tidak tampak bermusuhan" dengan kelompok minoritas.
Menurut Charlie Hebdo sendiri, hasil jajak pendapat Ifop bulan Februari lalu mengungkapkan "kebingungan besar antara penghinaan terhadap suatu agama dan simbol-simbolnya, di mana hal itu tidak bertentangan dengan hukum – dengan seruan untuk membenci kaum beriman - yang dapat diganjar dengan hukuman."
Charlie Hebdo tetap merilis gambar Mohammad dan mengkritik Islam. Tetapi beberapa orang mengatakan tabloid itu telah kehilangan semangatnya, dan salah satu jurnalisnya yang paling vokal, Zineb El Rhazoui, berhenti bekerja pada tahun 2017 dengan mengatakan bahwa media itu telah bersikap lunak terhadap ekstremisme Islam.
Kartunis dan editor Charlie Hebdo Laurent "Riss" Sourisseau, yang kehilangan lengan kanannya tetapi selamat dari serangan tahun 2015 dengan berpura-pura tewas, mengatakan kepada AFP bahwa ada kecenderungan umum di Prancis untuk kartun politik menjadi "sangat terikat konsensus".
Tidak berani mengambil resiko
"Tidak banyak editorial surat kabar yang berani ambil resiko dan gambar-gambarnya menjadi sedikit hambar," katanya. Para kritikus mengatakan perlindungan kebebasan berekspresi semakin melemah.
Dikutip dari AFP, pada tahun 1972, undang-undang yang disebut Pleven Law --dalam upaya melawan rasisme—diciptakan untuk mengatur penghinaan, pencemaran nama baik, dan hasutan kebencian, kekerasan serta diskriminasi.
Penyangkalan terhadap Holocaust dinyatakan ilegal di Prancis sejak tahun 1990. "Sejak Pleven Law, kita hanya memperketat larangan, meningkatkan hukuman dan mengurangi hak," kata Colosimo.
Perdebatan kembali marak
Pada bulan Januari tahun ini, perdebatan baru tentang kebebasan berekspresi meletus ketika seorang remaja menerima ancaman pembunuhan karena menyebut Islam sebagai "agama yang menyebalkan" di akun Instagram.
Menteri Kehakiman Prancis Nicole Belloubet, meski mengecam ancaman terhadap gadis itu, tetap dihujani kritik yang meluas karena mengatakan dia telah melakukan "penghinaan terhadap agama".
Namun Presiden Prancis Emmanuel Macron membela dengan tegas Mila, remaja itu dan mengatakan adalah hak semua orang Prancis "untuk menghujat, mengkritik, membuat karikatur agama."
"Kebebasan berekspresi tidak hadir dalam melindungi perdebatan yang menyenangkan," kata Colosimo. "Adanya untuk melindungi diskusi yang menyinggung, yang mengejutkan, yang mengkhawatirkan."
Dan tanpa adanya platform publik yang dilindungi untuk diskusi yang memanas, dia memperingatkan, "kita mungkin menghadapi mereka dengan cara yang berbeda, dalam kata-kata yang bahkan lebih tajam, atau dalam tindakan," pungkasnya.
ap/hp (afp/rti)