REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Kapal perang Amerika Serikat (AS) telah melintasi Selat Taiwan pada Ahad (30/8). Perairan tersebut sensitif mengingat ketegangan antara Taiwan dan China.
Angkatan Laut AS mengatakan kapal perusak berpeluru kendali kelas Arleigh Burke USS Halsey melakukan transit rutin di Selat Taiwan. Hal itu dilakukan sesuai dengan hukum internasional.
"Transit kapal melalui Selat Taiwan menunjukkan komitmen AS terhadap Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Angkatan Laut AS akan terus terbang, berlayar, dan beroperasi di mana pun yang diizinkan oleh hukum internasional," kata perwakilan Armada Ketujuh AS Reann Mommsen pada Senin (31/8), dikutip laman the Straits Times.
Dalam dua pekan terakhir, Angkatan Laut AS telah melakukan dua kali operasi di Selat Taiwan. Pada 18 Agustus, kapal perusak berpeluru kendali USS Mustin berlayar melalui Selat Taiwan. China memandangnya sebagai langkah berbahaya.
Pekan lalu, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen memperingatkan tentang potensi pecahnya konflik yang tak disengaja akibat ketegangan di Laut China Selatan (LCS) dan sekitar Taiwan. Dia menyarankan agar komunikasi antara para pihak tetap dijaga guna menghindari hal yang tak diinginkan.
“Risiko konflik membutuhkan pengelolaan yang cermat oleh semua pihak terkait. Kami berharap dan berharap bahwa Beijing akan terus menahan diri sesuai dengan kewajiban mereka sebagai kekuatan regional utama,”kata Tsai dalam forum yang diselenggarakan the Australian Strategic Policy Institute, Kamis (27/8).
Tsai mengatakan komunitas internasional telah mengikuti dengan cermat situasi di Hong Kong serta militerisasi China di LCS. Akibatnya sekarang ada pengawasan yang lebih ketat atas situasi di Selat Taiwan. "Keprihatinan yang signifikan terus berlanjut atas potensi kecelakaan, mengingat peningkatan aktivitas militer di wilayah tersebut. Oleh karena itu, kami yakin penting bagi semua pihak untuk menjaga jalur terbuka dan komunikasi untuk mencegah salah tafsir atau kesalahan perhitungan," ujarnya.
Kendati demikian, Tsai tak menampik bahwa Taiwan perlu memperkuat kemampuan pertahanannya. Hal itu telah menjadi prioritas dari pemerintahannya. "Kami melakukan ini karena kami tahu bahwa dalam kaitannya dengan situasi kami saat ini, kekuatan dapat dikaitkan dengan pencegahan. Ini juga mengurangi risiko petualangan militer," katanya.
Tsai menegaskan kembali komitmennya pada perdamaian, termasuk kesediaannya melakukan dialog dengan China. "Kami terbuka untuk berdiskusi dengan China, selama mereka berkontribusi pada hubungan yang menguntungkan," ucap Tsai.
Namun, Tsai menekankan China harus menerima bahwa sebagai negara demokrasi, hanya rakyat Taiwan yang dapat memutuskan masa depannya. Pemerintah China telah menolak melakukan dialog dengan Tsai. Beijing memandangnya sebagai seorang separatis yang ingin memisahkan Taiwan dari China dan mendeklarasikan kemerdekaan.