Rabu 02 Sep 2020 17:45 WIB

AS Diduga di Balik Batalnya Thailand Beli Kapal Selam China

Publik bertanya-tanya kenapa Thailand harus keluar banyak uang beli kapal selam China

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
Kapal Selam Cina (ilustrasi).
Foto: USNI.ORG
Kapal Selam Cina (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Analis pertahanan dan anggota parlemen mengatakan tekanan masyarakat memaksa Pemerintah Thailand menunda pembelian kapal selam China. Hal itu menunjukan ketidakjelasan kesepakatan antarkedua negara. Selain itu muncul juga pertanyaan mengapa Angkatan Laut Thailand sangat membutuhkan kapal selam?

Seperti dilansir South China Morning Post, Rabu (2/9), pengamat militer dari Hong Kong menilai ada manuver geopolitik di belakang keputusan pemerintah Thailand menunda pembelian tersebut. Sebab Amerika Serikat (AS) yang menganggap Thailand sekutu  kuat tidak ingin kesepakatan itu dilakukan.

Baca Juga

Anggota parlemen Thailand dari Partai Pheu Thai, Yuttapong Charasathien mempertanyakan apakah Laksamana Angkatan Laut Thailand dan produsen kapal selam China Shipbuilding & Offshore International mempunyai wewenang untuk menggelar kesepakatan. Kesepakatan ini ditandatangani pada  2017 lalu.

Ia mengatakan harusnya ada dokumen 'yang sangat kuat' dari kepala pemerintah Thailand dan China agar perjanjian itu valid. Yuttapong mengatakan wakil perdana menteri berjanji akan memberikan dokumen yang menegaskan kesepakatan tersebut valid.

"Jenderal  Prawit Wongsuwan, wakil perdana menteri, mengatakan ia akan menyediakan semua dokumen yang membuktikan kesepakatan itu valid," kata Yuttapong.

Yuttapong salah satu dari 24 anggota partai oposisi yang menjadi anggota sub komite parlemen yang bertugas mengawasi anggaran angkatan laut periode 2021 hingga 2022. Tujuh puluh dua anggota sub komite itu berasal dari partai koalisi pendukung pemerintah.

Sebelumnya, melalui pemungutan suara subkomite itu menyetujui pembelian dua kapal selam Yuan Class S26T senilai 22,5 miliar baht. Satu kapal selam sudah dibeli pada  2017 dan diperkirakan akan dikirim pada 2023.

Sejak Prayuth Chan-ocha merebut kekuasaan melalui kudeta, hubungan pertahanan Thailand-China kian mesra. Beijing mulai menjadi pemasok utama persenjataan Negeri Gajah Putih.

Usai pemilihan umum yang menjadikan Prayuth sebagai perdana menteri, angkatan bersenjata Thailand membeli 14 tank berat China VT4.  Padahal pada tahun 2016 mereka membeli jenis tank yang sama sebanyak 28 buah.

Thailand juga melakukan akuisisi senjata besar-besaran dari China. Negara Asia Tenggara itu mengungkapkan ingin memperbanyak latihan militer bersama.

Pengamat militer asal Hong Kong, Song Zhongping berspekulasi ada 'faktor Amerika' di balik keputusan pemerintah Thailand menunda pembelian kapal selam dari China. Keputusan yang diambil setelah tagar 'Rakyat tidak ingin kapal selam' trending di Twitter.  

"AS dan Thailand adalah sekutu militer, saat berselisihan antara Cina-AS berlanjut, apa pun dapat terjadi, terutama AS juga pemasok utama persenjataan Thailand,  dalam hal ini faktor Amerika juga dapat memainkan peranan besar," kata Song.

Kritikus pemerintah mengatakan hingga kini pemerintah Thailand belum memberikan alasan mengapa memaksakan diri untuk membeli kapal selama China. Kemudian mengapa mereka tidak mempertimbangkan membeli kapal selam dari negara lain?

Pada pekan lalu Angkatan Laut Thailand menggelar konferensi pers. Mereka mengatakan pembelian kapal selam akan meningkatkan 'kapabilitas deterensi' Thailand, terutama keamanan di Laut China Selatan. Tetapi pengamat tidak yakin dengan alasan tersebut.  

"Tidak hanya Thailand tidak memiliki klaim di Laut Cina Selatan, tapi karena kapal selam dibeli dari China, Beijing pasti tidak ingin Thailand datang ke Laut China Selatan dengan kapal selam, pernyataan itu tidak lebih hanya gertakan," kata dosen Pusat Kajian Masyarakat Asean, di Naresuan University, Paul Chambers.

Anggota masyarakat mengatakan Angkatan Laut gagal memberikan alasan yang tepat mengapa Thailand harus mengeluarkan begitu banyak uang untuk kapal selam. Saat perekonomian negara yang mengandalkan pariwisata itu mengalami krisis terburuk sejak puluhan tahun karena pandemi virus Corona.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement