REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA -- Kanada dan Belanda resmi bergabung dengan Gambia untuk menggugat Myanmar atas kasus genosida terhadap muslim Rohingya. Para pengamat menilai langkah kedua negara itu akan mencetak sejarah baru.
Menteri Luar Negeri Kanada Francois-Philippe Champagne dan Menteri Luar Negeri Belanda Stef Blok merilis pernyataan bersama. Mereka mengatakan intervensi kedua negara pada kasus yang diajukan ke Mahkamah Internasional itu 'untuk mencegah kejahatan genosida dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggungjawab'.
"(Kanada dan Belanda) akan membantu isu-isu hukum yang rumit yang diperkirakan akan muncul dan akan memberikan perhatian khusus pada kejahatan yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender dan seksualitas, termasuk pemerkosaan," kata Champagne dan Blok dalam pernyataan itu, seperti dilansir dari Aljazirah, Kamis (3/9).
Menteri Luar Negeri Kanada dan Belanda itu menyebut gugatan Gambia 'memprihatinkan bagi kemanusiaan'. Sejak Agustus 2017 lalu lebih dari 730 ribu warga Rohingya mengungsi dari rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar setelah militer negara Asia Tenggara itu menggelar operasi brutal.
Myanmar mengatakan aksi militer mereka untuk merespons serangan-serangan yang dilancarkan kelompok bersenjata Rohingya di Rakhine. Penyidik-penyidik PBB menyimpulkan operasi militer tersebut digelar dengan 'niatan genosida'.
"Gambia melakukan tindakan terpuji dengan melangkah maju untuk mengakhiri impunitas mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan di Myanmar," kata Champagne dan Blok dalam pernyataan bersama mereka.
Lembaga non-profit Global Center for Justice menyambut baik langkah Kanada dan Belanda tersebut. Organisasi asal New York, Amerika Serikat (AS) itu menyebut langkah kedua negara itu 'tidak kurang untuk mencetak sejarah'.
"Yang sama pentingnya dengan niatan mereka melakukan intervensi adalah janji mereka untuk fokus pada kejahatan genosida berbasis gender seperti kekerasan berbasis gender dan seksualitas, yang merupakan kekejian utama terhadap orang Rohingya," kata presiden Global Center for Justice, Akila Radhakrishnan.
Radhakrishnan menambahkan kejahatan berbasis gender kerap tidak termasuk kejahatan yang dimintai pertanggungjawabannya, sehingga mengabaikan korban utama kejahatan-kejahatan semacam itu yakni perempuan dewasa dan remaja.
Radhakrishnan mengatakan maka sangat penting untuk memastikan pertanggungjawaban pelaku kejahatan berbasis gender dan seksualitas. Karena itu, tambahnya, langkah Kanada dan Belanda patut diapresiasi. Kelompok Rohingya juga menyambut baik langkah dua negara anggota Uni Eropa itu dan meminta negara lainnya juga ikut bergabung.
"Pelan tapi pasti, jaringan para pemimpin Myanmar tertutup, mereka tidak akan lolos dari genosida ini," kata presiden Organisasi Rohingya Burma, Tun Khin, dalam pernyataannya.
Khin menambahkan Kanada dan Belanda berada di sisi yang benar. Menurutnya, hal itu sangat penting bagi negara-negara lain termasuk Inggris yang kini mendukung hak rakyat Rohingya dan kelompok minoritas lainnya di Myanmar.
"Keadilan adalah tuntutan utama semua warga Rohingya dan terutama sangat penting bagi mereka yang tinggi di kamp pengungsian Cox Bazar yang dipaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka dan hidup sebagai pengungsi di negeri asing," kata Khin.
Kanada dan Belanda juga mendesak negara lain ikut mendukung gugatan hukum Gambia. Negara kecil di benua Afrika itu melayangkan gugatan atas nama 57 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada November lalu.
Dalam gugatannya Gambia mengatakan sebagai penandatangan Konvensi Genosida 1948. Maka sudah menjadi kewajiban mereka mencegah genosida dan menghukum pelakunya, di mana pun kejahatan itu dilakukan.
Gambia mengandalkan laporan PBB dalam menyusun gugatan mereka. Negara Afrika barat itu menuduh Myanmar melakukan 'genosida yang masih berlangsung' terhadap warga muslim minoritas Rohingya. Sebagai langkah awal Gambia meminta adanya tindakan darurat untuk melindungi kelompok minoritas yang sudah lama teraniaya itu. Pada bulan Desember tahun lalu pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri sidang di Den Haag.
Ia membantah tuduhan genosida dan meminta para hakim yang berjumlah 17 membatalkan gugatan itu. Peraih hadiah Nobel itu memperingatkan kasus itu hanya akan memperburuk krisis yang sedang terjadi dan 'merusak proses rekonsiliasi'.
Pada bulan Januari lalu, para hakim memerintahkan Myanmar mengambil tindakan darurat untuk melindungi populasi Rohingya. Sementara proses penyelidikan dan dokumen kasus dilengkapi. Sekarang Myanmar melaporkan upaya mereka melindungi warga Rohingya setiap enam bulan sekali sampai keputusan akhir diputuskan.