REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Jurnalis dan atlet Turki yang diasingkan mengecam organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional karena mengunjungi Turki dan bertemu dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Presiden Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) Robert Spano memulai kunjungan resmi empat hari ke Turki sejak Kamis (3/9) pekan lalu.
Sebelum menerima gelar kehormatan dari Universitas Istanbul, dalam kunjungan itu Spano bertemu Erdogan dan pejabat Turki lainnya. Para korban pelanggaran hak asasi manusia pemerintah Turki mengatakan kunjungan itu 'tamparan di wajah' lembaga HAM dan munafik.
Tahun lalu ECHR menempatkan Turki sebagai negara dengan jumlah pelanggaran HAM tertinggi kedua dalam daftar negara-negara Eropa di belakang Rusia. Bintang NBA Turki terkemuka Enes Kanter, yang dicari di negara asalnya karena berbicara menentang apa yang dia sebut "kediktatoran" Erdogan, mengatakan ECHR seharusnya menjadi tempat orang-orang yang 'mengalami pelanggaran hukum dan HAM' di Turki mencari hak-hak mereka.
Namun sebaliknya, kunjungan oleh kepala ECHR seakan "melegitimasi tindakan pemerintah Turki yang melanggar hukum pada tingkat tertinggi dan melemparkan bayangan besar pada ketidakberpihakan lembaga yang dipimpinnya". Demikian dikatakan Kanter dalam sebuah wawancara dengan Al Arabiya English. Melalui cicitannya di Twitter, Kanter juga meminta Spano untuk segera mengundurkan diri.
"Kunjungan ini menunjukkan 'sikap munafik' ECHR sejernih kristal," kata jurnalis Turki yang diasingkan Bulent Kenes seperti dikutip Al Arabiya English, Senin(9/9).
Kenes didakwa tiga pasal dengan hukuman seumur hidup ditambah 15 tahun penjara di Turki setelah menulis kolom yang mengkritik Erdogan. Ia mengatakan selalu ada 'kecurigaan besar' ECHR adalah kaki tangan "kejahatan rezim Erdogan". Ia mengatakan kunjungan itu menunjukkan ECHR telah kehilangan kredibilitasnya sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang mencari keadilan.
"Ini adalah rasa malu besar bagi para hakim di Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dan terutama untuk Spano," kata Kenes.
Selama kunjungannya, Spano bertemu Menteri Kehakiman Abdulhamit Gul dan menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Istanbul. Direktur Human Rights Watch Turki Emma Sinclair-Webb mengatakan 'menakjubkan' Spano menerima gelar kehormatan dari universitas yang 'memecat sejumlah akademisi dengan cara yang melanggar hukum'.
Sejak kudeta gagal pada 15 Juli 2016, pemerintah Turki menggelar operasi pembersihan oposisi. Organisasi jurnalis independen Turki, Turkey Purge, melaporkan operasi tersebut membuat lebih dari 6.000 akademisi telah kehilangan pekerjaan.
Menurut ECHR dalam pertemuannya selama 45 menit dengan presiden Turki, Spano berbicara mengenai 'pentingnya supremasi hukum dan demokrasi'. Menurut jurnalis Turki yang diasingkan Ahmet Donmez, kunjungan Spano upaya yang tidak tulus dalam mendesak Erdogan untuk mendukung hak asasi manusia.
"Ada metode yang jauh lebih efektif dan lebih etis untuk mencapai hal ini," kata Donmez kepada Al Arabiya English.
Donmez mengatakan kunjungan itu justru 'memberikan oksigen tambahan pada pemerintahan Erdogan'. "Presiden ECHR harus segera mengundurkan diri dan pengadilan harus mempercepat banyak kasus Turki yang tertunda," Kata Antepli, seorang profesor di Universitas Duke.