REPUBLIKA.CO.ID, GAZA--Komisi Independen Hak Asasi Manusia Palestina mengeluarkan peringatan pada 23 Agustus lalu. Keluarga-keluarga Palestina di Tepi Barat berlomba-lomba membeli senjata api karena merasa tidak aman, lemah dan kurang perlindungan.
Berdasarkan perjanjian Oslo hanya aparatus keamanan Palestina yang boleh membawa senjata api di Tepi Barat. Tapi direktur Komisi Independen untuk Hak Asasi Manusia, Ammar Duweik mengatakan semakin banyak warga Tepi Barat yang memiliki senjata.
"Senjata tersebar luas di antara keluarga-keluarga di daerah (Tepi Barat) yang berada di bawah kekuasaan Otoritas Palestina dan perlindungan tokoh PA atau Fatah yang berpengaruh," kata Duweik, seperti dilansir dari Al-Monitor, Rabu (9/9).
Ia mencatat meningkatnya jumlah senjata beriringan dengan bertambahnya angka kejahatan di Tepi Barat. Duweik mengatakan sejak awal 2020 lembaganya mencatat 33 pembunuhan dan sebagian besar melibatkan senjata api.
"Ada kenaikan 40 persen dibandingkan tahun 2019," katanya.
Sejak awal tahun 2020 banyak kasus perselisihan antar keluarga kota-kota dan pemukiman di Tepi Barat yang melibatkan senjata api. Perkelahian kerap berakhir dengan kematian atau luka. Hal ini menunjukan ketidakmampuan aparat keamanan Palestina dalam mengendalikan penyebaran senjata di Tepi Barat.
Duweik mengatakan perlindungan atau 'keringanan' yang dibeberapakan sejumlah pihak atau tokoh menjadi salah faktor meningkatnya kepemilikan senjata api. Ia tidak mengungkapkan nama atau pihak yang memberikan perlindungan. Hukum melarang warga membawa senjata api ke ruang atau pertemuan publik.
"Dilarang membawa senjata api di ruang publik, pertemuan, rapat, pesta atau pernikahan. Dilarang membawa senjata api saat unjuk rasa," bunyi Undang-undang Senjata Api dan Amunisi Nomor 2 Pasal 14 tahun 1998.
"Sayangnya teks ini tidak ditegakan, dan kami melihat banyak orang yang datang ke acara sosial membawa senjata, yang mana membahayakan diri mereka dan orang lain, sulit membatasi kepemilikan senjata api di Tepi Barat karena banyak yang membawanya secara sembunyi-sembunyi dan ilegal," kata Duweik.
Ia mengatakan berbahaya bagi masyarakat berlomba-lomba memiliki senjata api. Menurutnya aparat keamanan Palestina bertanggung jawab untuk menahan penyebaran dan menutup sumber senjata api ilegal.
Menurut Duweik hal itu juga dibutuhkan 'dorongan politik'. Tidak ada data resmi mengenai sumber senjata api di Tepi Barat. Tapi para aktivis seperti Duweik menuduh Israel memfasilitasi senjata api masuk ke daerah itu demi memicu kekacauan di sana.
"Bagaimanapun, risikonya mempengaruhi masyarakat Palestina, bukan Israel," tambah Duweik.