REPUBLIKA.CO.ID, TRENTON - Dua tentara yang membelot dari militer Myanmar mengaku bahwa mereka diperintahkan untuk menembak Muslim Rohingya dan mengubur mayatnya di kuburan massal.
Duta Besar Kanada untuk PBB Bob Rae mengatakan pada Selasa bahwa pengakuan yang direkam dalam video itu akan memiliki "dampak besar" pada penyelidikan Pengadilan Kriminal Internasional atas tindakan barbar oleh tentara terhadap Rohingya yang tidak berdaya.
“Ini tentang apa yang diketahui kedua individu itu,” ujar Rae.
Kedua pembelot itu, prajurit Myo Win Tu dan Zaw Naing Tun, menjelaskan bukti yang memberatkan. “Tembak semua yang kamu lihat dan semua yang kamu dengar… musnahkan semua Kalar,” kata mereka mengutip perintah komandan pusat operasi militer Myanmar ketika menyerang Rohingya.
Kalar adalah sebutan untuk meremehkan Rohingya.
Mereka dianggap sebagai tentara Myanmar pertama yang mengakui bahwa militer melakukan kekejaman. Myo Win Tun mengatakan dalam satu operasi, delapan wanita, tujuh anak serta 15 pria dan lansia dibunuh dan tubuh mereka dibuang ke dalam lubang dan dikubur.
Menurut kesaksian dalam video yang dirilis oleh Fortify Rights, sebuah organisasi hak asasi manusia, para wanita itu diperkosa sebelum mereka dibunuh.
Awal bulan ini, Kanada dan Belanda menyatakan niat mereka mendukung mosi Gambia untuk meminta pertanggungjawaban Myanmar di Mahkamah Internasional atas kekejaman terhadap Rohingya. Pada 2019, pengadilan setuju untuk mempertimbangkan sidang kasus yang mengklaim Myanmar melakukan genosida terhadap Rohingya.
Rae, yang ditunjuk oleh Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau sebagai utusan khusus untuk Rohingya, mengatakan dia telah mengunjungi daerah itu dan menyaksikan bukti kejahatan yang mengerikan.
PBB dan kelompok hak asasi manusia juga telah mendokumentasikan bukti bahwa penduduk desa Muslim diperkosa dan dibunuh dan desa dibakar hingga rata dengan tanah.
Pada 2017, ketika serangan dimulai, sekitar 700.000 warga Rohingya melarikan diri dari kekerasan ke Bangladesh. Mereka hidup di lingkungan yang memprihatinkan di tempat penampungan sementara dengan kondisi yang tidak sehat.
Human Rights Watch mengatakan jumlah pengungsi saat ini mencapai hampir 1 juta dan beberapa di antaranya dibunuh oleh pasukan keamanan Bangladesh, sementara 600.000 lainnya masih berada di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, di mana kekerasan terus berlanjut.
“Myanmar perlu menerima solusi internasional yang menyediakan pemulangan sukarela yang aman bagi pengungsi Rohingya,” kata Brad Adams, direktur Human Rights Watch Asia.