REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Palestina mendapat dukungan baru dari Arab Saudi soal pembentukan negara Palestina tetapi pada pertemuan Rabu (9/9), gagal membujuk Liga Arab untuk mengutuk kesepakatan pemulihan hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab (UAE) pada Agustus.
Pada konferensi video para menteri luar negeri Liga Arab, pimpinan Palestina melunakkan kecamannya sendiri terhadap UAE atas kesepakatan 13 Agustus itu tetapi tidak membawa hasil. Pemulihan hubungan Israel-UAE, yang ditengahi oleh Amerika Serikat, akan diresmikan pada upacara penandatanganan di Gedung Putih minggu depan.
"Diskusi mengenai hal ini berlangsung serius. Dibahas secara komprehensif dan memakan waktu. Tapi pada akhirnya tidak menghasilkan kesepakatan tentang rancangan komunike yang diusulkan oleh pihak Palestina," kata Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab Hossam Zaki kepada wartawan.
Kesepakatan UAE-Israel adalah perjanjian pertama antara Israel dan suatu negara Arab dalam lebih dari 20 tahun, dan sebagian didasarkan pada ketakutan bersama terhadap Iran. Palestina kecewa atas tindakan UAE dan khawatir khawatir bahwa langkah itu akan melemahkan posisi lama persekutuan negara-negara Arab menyangkut prakarsa perdamaian Arab.
Prakarsa itu berisi seruan bagi penarikan Israel dari wilayah pendudukan dan pengakuan terhadap negara Palestina, jika Israel ingin memulihkan hubungannya dengan negara-negara Arab.
"Kami telah meminta agar ada kecaman yang jelas atas pelanggaran inisiatif perdamaian Arab tapi permintaan kami tidak dipenuhi," kata Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki dalam komentar yang diterbitkan oleh kantor berita Palestina WAFA.
"Tapi kami juga berhasil mencegah dikeluarkannya pernyataan apa pun bahwa Arab mendukung atau mengizinkan Emirat melakukan penandatanganan pada Selasa untuk normalisasi hubungan dengan Israel."
Pernyataan Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan al-Saud tidak secara langsung menyebut kesepakatan soal pemulihan hubungan Israel-UAE. Namun, ia mengatakan Riyadh mendukung pembentukan negara Palestina berdasarkan perbatasan yang ada sebelum perang Timur Tengah pada 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, menurut pernyataan yang dikeluarkan Pemerintah Arab Saudi.