Kamis 10 Sep 2020 18:35 WIB

Pencegahan Bunuh Diri di Tengah Pandemi: ‘Mari Saling Jaga’

Ahli menyerukan bahwa pembatasan jarak fisik bukan berarti terputus secara sosial.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/dpa/Weber/Eibner
picture-alliance/dpa/Weber/Eibner

Setiap tahun, sekitar 800.000 orang di seluruh dunia meninggal akibat bunuh diri. Beberapa dari mereka berasal dari keluarga yang besar, beberapa lainnya hidup sendiri sehingga kerap merasa kesepian dan merasa tidak punya siapapun untuk “bersandar”. Setiap kematian akibat bunuh diri mempengaruhi rata-rata 135 orang lainnya, sehingga jika dihitung setiap tahun ada sebanyak 108 juta orang yang terkena dampak kasus bunuh diri ini.

Situasinya bisa sangat bervariasi di setiap negara. Di Jerman contohnya, meskipun angka bunuh diri telah menurun dalam beberapa dekade terakhir, tapi kasus bunuh diri tetap saja menyumbang lebih banyak kematian dibanding gabungan angka kematian akibat kecelakaan di jalan raya dan penggunaan obat-obatan terlarang.

Tanggal 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia (World Suicide Prevention Day/ WSPD). Acara global tahunan ini dibentuk oleh Asosiasi Internasional untuk Pencegahan Bunuh Diri (IASP) dan turut disponsori oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

WSPD ini bertujuan untuk mengingat kembali kepergian mereka yang meninggal dunia karena bunuh diri sekaligus sebagai peringatan global bagi masyarakat untuk lebih peduli dan saling menjaga satu sama lain.

Dan di tahun ini, adanya kemungkinan efek pandemi COVID-19 pada meningkatnya angka bunuh diri menjadi topik perdebatan di kalangan para ahli.

Sosialisasi terhalang aturan jaga jarak

Moto yang diusung pada peringatan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia adalah "Bekerja Bersama untuk Mencegah Bunuh Diri". Namun upaya dalam menyesuaikan program dan aktivitas edukatif seputar peringatan ini menjadi tantangan, karena adanya beberapa aturan pembatasan guna mencegah penyebaran COVID-19.

"Kami tidak dapat menyentuh satu sama lain secara fisik saat ini, tetapi yang lebih penting adalah menafsirkan moto secara simbolis - bahwa kami sebenarnya masih ada untuk satu sama lain dan menjaga satu sama lain," kata Barbara Schneider, kepala dokter di departemen penyakit terkait ketergantungan di klinik LVR di Cologne.

Para ahli setuju bahwa efek pandemi COVID-19 dapat meningkatkan faktor risiko untuk melukai diri sendiri, termasuk akibat isolasi, kecemasan, kerugian ekonomi, dan peningkatan konsumsi alkohol dan obat-obatan.

Pada saat yang sama, para peneliti telah memperingatkan agar tidak buru-buru menarik kesimpulan tentang hubungan dampak pandemi terhadap tingkat bunuh diri, karena belum ada data final.

“Kami masih belum tahu banyak tentang apa dampak pandemi terhadap bunuh diri. Tapi tentu saja, ada dampak besar pada upaya pencegahan bunuh diri, terutama dalam hal pemberian layanan,” ujar Thomas Niederkrotenthaler, peneliti bunuh diri dan bendahara di IASP kepada DW.

Beralih ke bantuan layanan online

Meski aturan pembatasan pencegahan COVID-19 menyulitkan sosialisasi, namun di sisi lain juga membuka jendela digital.

Saluran telepon darurat perawatan krisis dan kelompok-kelompok lokal memperluas jangkauan mereka untuk menawarkan layanan online. Sesi saling berbagi cerita secara kelompok dengan terapis diatur melalui obrolan video - meskipun dilakukan dari balik layar komputer.

"Ini adalah krisis yang sangat unik, juga pandemi yang sangat unik, karena untuk pertama kalinya, kami benar-benar memiliki kesempatan untuk menggunakan layanan online," sebut Niederkrotenthaler, yang juga mengepalai unit penelitian bunuh diri di Medical University of Vienna.

Protes atas video TikTok

Jika internet dapat menjadi sumber kelegaan dan kenyamanan bagi mereka yang memiliki pikiran untuk bunuh diri, para ahli juga mewaspadai dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh beberapa konten di media sosial.

Aplikasi berbagi video TikTok mendapat kecaman dalam beberapa hari terakhir, setelah video bunuh diri mulai beredar dan kemudian menyebar ke platform media sosial lainnya.

TikTok, yang mayoritas penggunanya adalah kalangan anak muda, mengatakan sedang berupaya untuk menghapus video-video semacam itu. Orang tua dan sekolah telah diberi peringatan tentang konten itu, menyusul adanya laporan dari pengguna media sosial muda lainnya yang merasa trauma melihat video tersebut.

Video serupa telah muncul di situs lain, termasuk Facebook, Instagram, dan Twitter. Desakan agar raksasa media sosial segera mengambil tindakan terhadap konten yang mengganggu tersebut pun semakin mencuat.

'Bantuan itu mungkin'

Bunuh diri tidak hanya disebabkan oleh satu hal. Bagi mereka yang berjuang dengan depresi dan pikiran untuk bunuh diri, pesan dari para ahli jelas: Anda tidak sendiri.

"Penting untuk menawarkan kontak dan hubungan dengan orang yang berjuang atas depresi dan mempertahankan kontak itu," kata Schneider. "Juga jika Anda melihat bahwa itu tidak cukup, atau jika Anda menganggapnya tidak cukup, maka Anda perlu mengatur bantuan lebih lanjut,” tambahnya.

Bahkan di tengah aturan jarak fisik, penting untuk tetap menanyakan secara langsung orang-orang yang mungkin tengah berjuang atas depresi hingga pikiran-pikiran negatif.

"Apa yang perlu diketahui oleh orang pada umumnya adalah bahwa ‘bantuan’ itu mungkin (menyelamatkan mereka dari bunuh diri)," tambahnya.

Jika Anda mengalami ketegangan emosi yang serius atau pikiran untuk bunuh diri, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Anda dapat menemukan informasi tentang di mana mendapatkan bantuan semacam itu, di mana pun Anda tinggal di dunia, lewat situs web ini: https://www.befrienders.org/

pkp/ gtp

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement