REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengemukakan isu persengketaan di Laut China Selatan (LCS) dalam ASEAN Regional Forum yang digelar pada Sabtu (12/9). Dia menegaskan pentingnya penegakan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
"Indonesia menyampaikan bahwa indonesia ingin melihat kawasan Laut China Selatan damai dan stabil, di mana prinsip-prinsip internasional yang diakui secara internasional ditegakkan, termasuk UNCLOS 1982," kata Retno dalam keterangan pers yang disampaikan secara virtual.
Menurut Retno, hal itu pun disampaikan dalam komunike bersama yang dirilis pada hari pertama perhelatan pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN ke-53. Disebutkan bahwa UNCLOS 1982 adalah kerangka hukum internasional untuk semua aktivitas perairan dan laut. Code of conduct di Laut China Selatan harus konsisten dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
"Indonesia menyampaikan bahwa UNCLOS 1982 adalah satu-satunya basis untuk penentuan maritime entitlement, kedaulatan dan hak berdaulat, yurisdiksi, dan legitimate interest di perairan dan di laut," ujar Retno.
Salah satu yang diatur dalam UNCLOS 1982 adalah perihal zona ekonomi eksklusif (ZEE) yang membentang sejauh 200 mil laut dari bibir pantai. Terkait sengketa di Laut China Selatan, China dinilai telah melanggar UNCLOS 1982 dengan mengklaim ZEE beberapa negara ASEAN sebagai bagian dari wilayahnya.
China diketahui mengklaim sekitar 90 persen atau 1,3 juta mil persegi wilayah Laut China Selatan sebagai teritorialnya. Klaim itu didasarkan pada garis putus-putus atau garis demarkasi berbentuk "U" yang diterbitkan pada 1947.
Klaim itu telah ditentang sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. AS pun menolak klaim China karena menganggap Laut China Selatan sebagai wilayah perairan internasional.