REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Tanda-tanda Bahrain akan menjadi negara Teluk Arab kedua yang mengumumkan normalisasi hubungan dengan Israel sudah terlihat beberapa tahun yang lalu. Pada Februari 2017, Raja Hamad bin Isa Al Khalifa bertemu dengan pemimpin-pemimpin Yahudi di Amerika Serikat (AS).
Media Qatar, Aljazirah melaporkan saat itu Raja Hamad menyayangkan langkah negara-negara Arab memboikot Israel. Satu tahun kemudian organisasi antar-agama yang didukung pemerintah This is Bahrain memicu amarah warga Palestina.
Kelompok tersebut mengunjungi Israel beberapa hari setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke sana. Palestina menilai keputusan Bahrain itu sebagai sebuah pengkhianatan. Palestina menganggap normalisasi Bahrain dengan Israel sebagai bagian dari kerangka perdamaian baru yang didikte AS demi menghapus perjuangan Palestina.
"Tidak diragukan lagi hal ini menjadi pukulan keras bagi rakyat Palestina dan perasaan yang menyakitkan perjuangan mereka bukan lagi prioritas rezim-rezim Arab," kata peneliti senior di Pusat Kajian Timur Tengah London School of Economics, Ian Black pada Aljazirah, Senin (14/9).
Palestina ingin memiliki negara sendiri sesuai dengan perbatasan de facto sebelum perang 1967 ketika Israel menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza serta menganeksasi Yerusalem Timur. Posisi negara-negara Arab selalu jelas jika Israel ingin menormalkan hubungan dengan negara-negara Arab, maka mereka harus angkat kaki dari wilayah pendudukan dan menerima negara Palestina.
Walaupun dua kekuatan besar di Timur Tengah yakni Arab Saudi dan Iran belum menunjukkan akan mundur dari posisi itu, tapi para pengamat mengatakan Uni Emirat Arab dan Bahrain tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel tanpa izin dari Arab Saudi.
"Agenda politik Bahrain sebagian besar didikte Arab Saudi," kata pengamat kebijakan dari lembaga think tank The Palestinian Policy Network Al-Shabaka, Marwa Fatafta.
Beberapa bulan sebelum Manama setuju menjadi tuan rumah pertemuan ekonomi rencana Trump di Timur Tengah pada 2018 lalu, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait berjanji menggelontorkan 10 miliar dolar AS untuk Bahrain yang digunakan untuk menstabilkan keuangan mereka.
"Selain karena bergantung secara finansial pada negara tetangga, persekutuan baru Bahrain dengan Israel juga mungkin memperkuat kekuatan mereka dan menghancurkan setiap perlawanan terhadap otoritarian atau upaya menuju kebebasan dan demokrasi," kata Fatafta.
Saat Arab Spring melanda Bahrain pada 2011, Arab Saudi mengirim pasukan mereka untuk menekan pengunjuk rasa anti-pemerintah. Sebagian besar pengunjuk rasa yang menentang monarki adalah masyarakat muslim syiah yang mayoritas di negara itu.
Bersama Iran dan Irak, Bahrain salah satu dari tiga negara Timur Tengah yang mayoritas penduduknya muslim syiah. Walaupun mayoritas penduduknya muslim syiah tapi keluarga kerajaan dan elite politik muslim sunni.
Editor majalah daring, Jadaliyya, Mouin Rabbani mengatakan dengan bergabung dalam rombongan yang dipimpin AS maka monarki Bahrain dapat 'terus melindungi diri dari rakyatnya sendiri'.
"Bahrain memastikan memiliki sekutu yang sama-sama berkomitmen mempertahankan status quo dan mencegah pemberontakan rakyat," katanya.
Pemuka syiah Bahrain yang tinggal di luar negeri, Ayatollah Sheikh Isa Qassim mengecam normalisasi hubungan dengan Israel. Ia mendorong rakyat di kawasan untuk melawan keputusan tersebut.
Rabbani mengatakan, Bahrain menjadi negara monarki Teluk yang 'paling bertentangan dengan rakyatnya sendiri'. Para pengamat menilai memperkuat status quo juga artinya mengalihkan pemain-pemain utama di Timur Tengah seperti Iran dan mungkin Turki.
"Kampanye komprehensif yang diluncurkan AS dan Israel untuk menghapus isu Palestina tidak hanya dari agenda internasional tapi juga regional dan mengganti konflik Arab-Israel menjadi konflik Arab-Iran," kata Rabbani.