REPUBLIKA.CO.ID,YERUSALEM – Palestina merasa dicampakkan oleh para sekutu lamanya. Ini menyusul normalisasi hubungan negara-negara Teluk dengan Israel, di antaranya Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Kesepakatan normalisasi hubungan dengan Israel ditandatangani di Gedung Putih, AS. Presiden Donald Trump bertindak sebagai tuan rumah, Selasa (15/9) waktu setempat.
Para pemimpin Palestina kini dituntut mengkaji secara keseluruhan strategi perjuangan mereka. Selama ini, Palestina bergantung pada sikap pan-Arab yang mendesak Israel mundur dari tanah pendudukan Tepi Barat dan Gaza. Mereka pun mendorong Israel mengakui Palestina sebagai negara dengan jika Israel menginginkan normalisasi hubungan negara Arab.
Namun, pekan lalu Palestina gagal membujuk Liga Arab mengecam negara yang melanggar sikap di atas. Upacara penandatanganan normalisasi hubungan dengan Israel di Gedung Putih akan menjadi''hari yang kelam dalam sejarah bangsa Arab,'' kata Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh, Senin (14/9) waktu setempat. Shtayyeh menambahka, saat ini Palestina mempertimbangkan hubungannya dengan Liga Arab.
Namun, sejumlah kritik mengemuka bahwa langkah itu sudah terlambat. Presiden Mahmoud Abbas dianggap bertanggung jawab atas posisi Palestina yang kian terisolasi.''Hampir tak terlihat kepemimpinan Palestina mengubah pendekatannya selama ini,''ungkap Tareq Baconi, pengamat dari International Crisis Group seperti dilansir laman berita Reuters, Rabu (16/9).
Strategi Palestina berfokus pada upaya membawa ke pengadilan internasional dan memutus dominasi AS dalam penanganan konflik Palestina-Israel. Ia menyatakan, dukugan Arab dan Uni Eropa dalam strategi itu sangat krusial.Meski demikian, ia ragu Palestina mampu mempertahankan dukungan itu dan mencapai dukunga memadai untuk meraih keadilan yang diharapkan.
Di tengah tanda-tanda bergesernya sikap dukungan Arab, Sekjen Organisasi Pembebasan Palestina Saeb Erakat menegaskan, strategi membentuk negara yang mencakup Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza tak akan berubah. ''Kami tak bisa lepas dari hukum dan legalitas internasional untuk mencapai perdamaian dengan diakhirinya pendudukan Israel dan solusi dua negara.''