Rabu 16 Sep 2020 12:48 WIB

Hadapi Normalisasi Israel, Palestina Rombak Strategi

Normalisasi membuat Palestina merasa ditinggalkan oleh sekutu tradisional

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Christiyaningsih
 Wanita Palestina memegang poster dengan foto tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel selama protes terhadap perjanjian perdamaian untuk menjalin hubungan diplomatik antara Israel dan Uni Emirat Arab, di kota Nablus, Tepi Barat, 15 September 2020.
Foto: EPA-EFE/ALAA BADARNEH
Wanita Palestina memegang poster dengan foto tahanan Palestina yang ditahan di penjara Israel selama protes terhadap perjanjian perdamaian untuk menjalin hubungan diplomatik antara Israel dan Uni Emirat Arab, di kota Nablus, Tepi Barat, 15 September 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Kesepakatan normalisasi Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dengan Israel membuat warga Palestina merasa ditinggalkan oleh sekutu tradisional. Para pemimpin Palestina menghadapi seruan untuk merombak strategi agar mereka tidak termarjinalisasi oleh Israel.

Palestina telah lama mengandalkan dukungan dari negara-negara Arab agar mereka dapat membentuk negara merdeka dan terbebas dari blokade Israel. Pada 2002, negara-negara Teluk Arab membentuk Inisiatif Perdamaian Arab.

Baca Juga

Inisiatif ini menyerukan hubungan normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab lainnya dengan imbalan penarikan penuh Israel dari tanah yang diduduki dalam perang 1967, serta pembentukan negara Palestina yang merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Kesepakatan Inisiatif Perdamaian Arab tidak pernah dilaksanakan karena Israel melanjutkan invasi dan perluasan permukiman di Tepi Barat.

Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengatakan seremoni penandatanganan kesepakatan normalisasi antara UEA, Bahrain, dan Israel menjadi 'hari yang kelam dalam sejarah negara-negara Arab'. Dia mengatakan Palestina mengancam akan keluar dari Liga Arab.

Para kritikus menyebut langkah Palestina untuk keluar dari Liga Arab dinilai terlambat. Terlebih, Presiden Mahmoud Abbas menghadapi kritik karena posisi Palestina semakin terisolasi.

"Ada sangat sedikit indikasi bahwa kepemimpinan (Palestina) sedang mempertimbangkan untuk melepaskan diri dari pendekatannya," ujar seorang analis dari International Crisis Group, Tareq Baconi.

Baconi mengatakan strategi Palestina yakni meminta pertanggungjawaban Israel di pengadilan hukum internasional dan mencoba mematahkan dominasi Amerika Serikat (AS) atas proses perdamaian Israel-Palestina.

"Dukungan Arab dan Eropa dalam strategi itu sangat penting. Tetapi patut dipertanyakan apakah Palestina akan mampu mengamankan ke tingkat yang diperlukan untuk memastikan perdamaian yang adil," kata Baconi.

Terlepas dari tanda-tanda pergeseran dukungan Arab, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat mengatakan strategi Palestina untuk menjadi negara yang merdeka tidak akan berubah. Termasuk menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota dan merebut kembali wilayah Tepi Barat dan Gaza yang diduduki oleh Israel.

"Untuk tetap pada dasar hukum internasional, legalitas internasional, untuk mencari perdamaian berdasarkan penghentian pendudukan Israel dan solusi dua negara, kita tidak dapat meninggalkannya," ujar Erekat.

Meski mengakui kesulitan yang dihadapi oleh kepemimpinan Palestina di bawah pendudukan Israel, para analis mengatakan Abbas memang memiliki beberapa pilihan. Analis Gaza, Talal Okal, mengatakan institusi PLO perlu dibangun kembali untuk memperkuat hubungan antara Palestina dan para diaspora di luar negeri.

"Lebih dari enam juta diaspora Palestina dapat memengaruhi komunitas tempat mereka tinggal sehingga perjuangan Palestina memiliki tempat dalam agenda pemerintah di tempat tinggal para diaspora," ujar Okal.

Pemerintahan Presiden Donald Trump tak pernah menyerah untuk membujuk Palestina agar membuka dialog dengan Israel. Pemerintah AS berharap Palestina sepakat membuka dialog melalui normalisasi hubungan UEA, Bahrain, dan Israel.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement