REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meyakini bahwa Arab Saudi akan mengikuti Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain dalam normalisasi hubungan dengan Israel, Selasa (16/9). Menurutnya, Kerajaan termasuk di antara beberapa negara yang ia yakini berada di ambang pembukaan hubungan diplomatik dengan Tel Aviv.
Trump mengambil kesimpulan setelah berbicara dengan Raja Salman, bahwa negara Saudi bakal melakukan normalisasi dengan Israel pada waktu yang tepat nantinya. "Kami memiliki banyak negara lain yang akan bergabung dengan kami, dan mereka akan segera bergabung dengan kami," kata Trump dikutip laman Anadolu Agency, Rabu (16/9).
Hal tersebut diungkapkan Trump beberapa jam setelah Bahrain dan UEA secara resmi menandatangani dokumen yang menormalisasi hubungan dengan Israel di Gedung Putih yang ia juga saksikan. Presiden selanjutnya meningkatkan jumlah negara yang menurutnya hampir mengikuti langkah-langkah kedua negara Teluk Arab. Dia mengatakan, bahwa bisa saja jumlahnya lima atau enam negara Arab yang akan menormalkan hubungan dengan Israel.
"Kami akan memiliki 7 atau 8 atau 9. Kami akan memiliki banyak negara lain yang bergabung dengan kami, termasuk yang besar," kata Trump. Selama upacara penandatanganan resmi pada Selasa (15/9) waktu setempat, Trump mengatakan perjanjian itu akan mengakhiri dekade perpecahan dan konflik di kawasan itu seraya mengantarkan "fajar Timur Tengah baru."
"Berkat keberanian para pemimpin dari ketiga negara ini, kami mengambil langkah besar menuju masa depan di mana orang-orang dari semua agama dan latar belakang hidup bersama dalam damai dan kemakmuran," kata Trump di hadapan ratusan tamu yang berkumpul untuk acara tersebut di Halaman Selatan Gedung Putih.
Bahrain menjadi negara Arab keempat yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel Jumat lalu setelah Mesir pada 1979, Yordania pada 1994, dan UEA pada Agustus 2020. Selain perjanjian bilateral yang ditandatangani antara Israel dan negara-negara Arab, ketiganya dan AS menandatangani pakta bersama yang disebut Trump dan pemerintahannya sebagai "Abraham Accords."
Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif bin Rashid Alzayani mendeskripsikan perjanjian itu sebagai langkah pertama yang penting untuk membangun perdamaian yang lebih besar di kawasan. "Kini adalah kewajiban kita untuk bekerja secara mendesak dan aktif untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan abadi yang layak diterima rakyat kita. Solusi dua negara yang adil, komprehensif dan abadi untuk konflik Palestina-Israel akan menjadi fondasi, landasan perdamaian seperti itu," ujar Aljayani.
Kesepakatan normalisasi telah menuai kecaman luas dari warga Palestina. Mereka mengatakan kesepakatan tersebut tidak melayani kepentingan Palestina dan mengabaikan hak-hak mereka.
Otoritas Palestina mengatakan setiap kesepakatan dengan Israel harus didasarkan pada Prakarsa Perdamaian Arab tahun 2002 dengan prinsip tanah untuk perdamaian, bukan "perdamaian untuk perdamaian" seperti yang dipertahankan Israel.