Saat ini dua tentara Myanmar diyakini tengah ditahan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, dua bulan setelah mereka mengaku dalam sebuah video, ikut dalam “pemusnahan” minoritas Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Tepatnya pada Juli lalu, kedua tentara tersebut mengaku terlibat dalam pembunuhan sekitar 180 warga sipil selama operasi militer pada tahun 2017, yang akhirnya memaksa sekitar 750.000 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh.
Salah satu tentara bernama Myo Win Tun (33), mengatakan bahwa dirinya diperintah untuk “menembak semua yang Anda lihat dan dengar”, sembari menambahkan bahwa dia juga melakukan pemerkosaan selama operasi itu.
Sementara tentara lainnya, Zaw Naing Tun (30), mengatakan dia bertugas berjaga-jaga ketika perwira seniornya memperkosa wanita Rohingya. Keduanya juga turut menyebutkan nama dan pangkat 17 tentara lainnya yang menurut mereka terlibat dalam perilaku kejam itu, termasuk enam komandan senior yang memerintahkan mereka untuk “memusnahkan” semua warga Rohingya.
Video pengakuan mereka direkam oleh Arakan Army (AA), kelompok pemberontak Rakhine yang berjuang memerangi militer Myanmar. Dan video itu dirilis oleh LSM bernama Fortify Rights, yang mengklaim telah menganalisis rekaman tersebut dan menyebutnya kredibel.
Kekejaman yang dilakukan terhadap minoritas Muslim Rohingya yang tinggal di barat laut Myanmar itu telah didokumentasikan oleh penyidik PBB dan kelompok HAM.
ICC saat ini sedang menyelidiki apakah pemimpin militer Myanmar, Tatmadaw, terlibat melakukan kejahatan terhadap Rohingya.
Masih belum jelas bagaimana ICC akan merespons pengakuan dua tentara dalam video tersebut. Dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke DW, ICC mengatakan tidak dapat berkomentar terkait penyelidikan yang sedang berlangsung.
Kedua tentara itu juga belum secara resmi didakwa melakukan kejahatan apa pun.
Bagaimana kedua tentara itu sampai di Den Haag?
Myo Win Tun dan Zaw Naing Tun muncul di perbatasan Myanmar-Bangladesh pada Agustus lalu setelah meninggalkan pos militer mereka, demikian menurut laporan media.
Tidak jelas disebutkan dalam laporan tersebut bagaimana kedua pria itu kemudian jatuh ke tangan AA, mengapa mereka membuat pengakuan, atau bagaimana akhirnya mereka dibawa ke Belanda dan di bawah otoritas siapa.
“Setibanya mereka di Bangladesh, pemerintah di Dhaka menghubungi ICC, dan kami menduga bahwa ICC melakukan perjalanan ke Bangladesh dan akhirnya membawa dua pria itu ke Den Haag,” kata Matthew Smith, CEO Fortify Rights kepada DW.
“Mereka jelas bukan turis di Belanda,” tambahnya.
Payam Akhavan, seorang pengacara asal Kanada yang mewakili Bangladesh di ICC, mengonfirmasi kepada DW bahwa kedua pria itu muncul di pos perbatasan meminta perlindungan kepada pemerintah Bangladesh dan telah mengaku melakukan pembunuhan massal dan pemerkosaan terhadap warga Rohingya pada 2017.
Namun, dia tidak bisa memastikan apakah Bangladesh yang menyerahkan tentara tersebut ke ICC.
“Yang bisa saya katakan adalah kedua orang itu tidak lagi berada di Bangladesh,” kata Akhavan.
Kementerian Luar Negeri Bangladesh tidak mau menanggapi pertanyaan DW terkait bagaimana kedua tentara itu bisa sampai di Den Haag.
Myanmar sebut pengakuan kedua tentara itu ‘paksaan’
Juru bicara militer Myanmar, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, pekan lalu mengonfirmasi bahwa kedua pria dalam video itu adalah mantan tentara. Mereka mengklaim bahwa keduanya telah “disandera” oleh kelompok pemberontak AA dan “diancam dan dipaksa untuk membuat pengakuan”.
Namun, AA menolak klaim itu dan mengatakan kedua tentara itu telah meninggalkan tempat tersebut.
“Mereka secara sukarela mengakui kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Myanmar,” kata juru bicara AA Khine Thu Kha, sembari menambahkan bahwa pembelot lain juga memberikan testimoni serupa, yang telah mereka unggah secara online dalam beberapa bulan terakhir.
Meski begitu, militer Myanmar dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di media pemerintah pada Selasa (15/09), untuk pertama kalinya mengakui kemungkinan pola pelanggaran yang lebih luas selama operasi militer 2017 di Rakhine.
Dikatakan bahwa Kantor Jaksa Agung yang dikelola militer telah meninjau laporan oleh sebuah komisi yang didukung pemerintah atas tuduhan kejahatan perang yang dilakukan tentara, dan sebagai responsnya menyebut telah memperluas cakupan penyelidikan.
Kantor tersebut “menyelidiki kemungkinan pola pelanggaran yang lebih luas di wilayah utara Rakhine pada 2016-2017,” kata militer dalam pernyataan itu seperti dikutip dari Reuters.
“Dugaan mengenai desa-desa di wilayah Maungdauw termasuk dalam ruang lingkup penyelidikan yang lebih luas ini,” tambah militer, merujuk pada sebuah distrik di perbatasan dengan Bangladesh yang menjadi fokus operasi keamanannya pada tahun 2017.
Momen ‘monumental’ untuk keadilan?
Fortify Rights menyerukan agar para pria itu dituntut di ICC. Mereka menyebut pengakuan kedua tentara itu sebagai “momen monumental” dalam perjuangan Rohingya atas keadilan.
“Kedua pria ini memiliki informasi yang dapat membantu menjatuhkan komandan senior tentara Myanmar yang bertanggung jawab atas kejahatan keji,” kata Smith. “Bukan hanya itu, kedua orang ini juga harus diadili atas kejahatan mereka,” tambahnya.
Nay San Lwin, salah satu pendiri Free Rohingya Coalition, mengatakan kepada DW bahwa tentara Myanmar lain yang terlibat harus mengakui “kejahatan” mereka.
“Banyak korban Rohingya yang bersedia bersaksi tentang kejahatan yang dilakukan oleh Myanmar, tetapi karena negara itu tidak akan bekerja sama dengan ICC, tidak ada satu pun yang mengaku dari pihak pelaku,” katanya.
“Kedua tentara ini akan membuat perbedaan. Pernyataan mereka akan sangat membantu penyelidikan yang sedang berlangsung,” tambah Lwin.
“Tindakan mereka akan mendorong tentara yang tersisa di negara bagian Rakhine untuk mengambil tindakan serupa dan mengakui kejahatan mereka.”
Bagaimana situasi hukum terkait kasus ini sekarang?
Myanmar saat ini tengah menghadapi dua tuntutan hukum yang berbeda, satu di ICC dan satu lagi di Pengadilan Internasional (ICJ), atas kampanye militer 2017 yang membuat banyak Rohingya pergi melintasi perbatasan ke Bangladesh.
Sementara itu, Kanada dan Belanda pada awal bulan ini mengumumkan niat mereka untuk secara resmi bergabung dengan Gambia untuk melawan Myanmar atas kasus genosida di ICJ.
Menteri Luar Negeri Kanada Francois-Philippe Champagne, dan mitranya dari Belanda Stef Blok, mengatakan dalam pernyataan bersama bahwa kedua negara mengambil langkah tersebut atas kewajiban yang tertuang dalam Konvensi Genosida, “untuk mencegah kejahatan genosida dan meminta mereka yang terlibat bertanggung jawab.”
“Ini adalah perkembangan yang hebat. Kedua negara memberi contoh penting tentang bagaimana pemerintah dapat berdiri di sisi yang benar di dalam sejarah,” kata Smith.
“Selama bertahun-tahun, orang-orang memberi tahu kami dan warga Rohingya bahwa tidak mungkin membawa pelaku ke Den Haag, tapi sekarang hal itu terjadi,” katanya. “Kami tidak akan berhenti sampai kekejaman ini berakhir”.
Lwin dari Free Rohingya Coalition meminta lebih banyak negara untuk mendukung gugatan Gambia atas Myanmar.
Dia menyebutkan bahwa dari 150 lebih negara yang terlibat dalam Konvensi Genosida, sejauh ini hanya Kanada dan Belanda yang menunjukkan solidaritas mereka dengan Gambia.
“Banyak negara lain yang dapat bergabung. Dunia harus bersatu melawan genosida, alih-alih hanya berkata sebatas ‘kami mendukung keadilan’,” katanya.
Di sisi lain, Myanmar berulang kali membantah melakukan genosida seperti yang dituduhkan, dengan mengatakan operasi militer pada 2017 itu menargetkan militan Rohingya yang menyerang pos perbatasan polisi. (gtp/ha)