REPUBLIKA.CO.ID, AGRA - Situs nomor satu di India, Taj Mahal kembali dibuka seperti biasa untuk pengunjung pada Senin (21/9) waktu setempat. Pembukaan ini dilakukan bahkan ketika India diprediksi akan menyalip Amerika Serikat (AS) sebagai negara dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di dunia.
Negara bagi 1,3 miliar orang ini mencatat lebih dari 5,4 juta kasus Covid-19 hingga Senin. Sekitar 100 ribu infeksi positif baru tercatat dan lebih dari 1.000 kematian dilaporkan setiap harinya.
Namun demikian, lockdown atau karantina wilayah ketat pada Maret menghancurkan mata pencaharian puluhan juta orang. Akibatnya Perdana Menteri Narendra Modi enggan meniru beberapa negara yang memperketat aktivitas.
Sebaliknya dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah Modi telah mengurangi lebih banyak pembatasan termasuk di banyak rute kereta api, penerbangan domestik, pasar, restoran, dan yang terbaru ini adalah dibukanya Taj Mahal.
Makam marmer ini dibangun oleh kaisar Mughal Shah Jahan untuk mengenang ratunya, Mumtaz Mahal, pada abad ke-17. Taj Mahal yang merupakan mausoleum marmer putih yang terkenal di dunia dan terletak di kota Agra di selatan New Delhi adalah tempat wisata paling populer di India. Biasanya situs ini menarik tujuh juta pengunjung setahun, tetapi telah ditutup sejak Maret.
Para pejabat mengatakan bahwa ketika dibuka kembali, aturan jarak sosial yang ketat akan diberlakukan. Jumlah pengunjung harian juga akan dibatasi pada 5.000 atau seperempat dari tingkat normal. Tiket hanya bisa dibeli secara daring (online).
"Lingkaran sedang ditandai, masker akan menjadi suatu keharusan dan tidak ada yang bisa masuk tanpa pemeriksaan termal," kata Vasant Swarnkar, seorang arkeolog senior yang bertanggung jawab atas monumen Agra dikutip laman Channel News Asia, Senin.
Dilansir BBC, Taj Mahal terakhir ditutup sebentar pada 1978 ketika kota Agra dilanda banjir. Sebelum itu, monumen ini ditutup selama beberapa hari pada 1971 saat terjadi perang antara India dan Pakistan. Penutupan akibat Covid-19 merupakan yang terlama dalam sejarah Taj Mahal.
Namun di tempat lain, terutama di daerah perdesaan di mana infeksi melonjak, bukti anekdot menunjukkan bahwa pedoman pemerintah untuk menghindari virus lebih sering diabaikan daripada ditaati. "Saya pikir, tidak hanya di India tetapi di seluruh dunia, kelelahan dengan tindakan ekstrem yang diambil untuk membatasi pertumbuhan virus corona mulai terjadi," kata Gautam Menon, profesor fisika dan biologi di Universitas Ashoka.
Dia juga memprediksi infeksi akan terjadi dan sebagai hasilnya, terus meningkat. Banyak ahli mengatakan meskipun India menguji lebih dari satu juta orang setiap hari, ini masih belum cukup dan jumlah kasus sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan secara resmi.
Hal yang sama berlaku untuk kematian, yang saat ini mencapai lebih dari 86 ribu jiwa. Banyak kematian tidak dicatat dengan benar bahkan dalam waktu normal di salah satu sistem perawatan kesehatan dengan pendanaan terburuk di dunia.
Namun ada beberapa penolakan terhadap pembukaan lockdown oleh Modi dari negara terpadat kedua di dunia itu. Sebab ekonominya mengalami kontraksi ekonomi hampir seperempat antara April dan Juni.
Sekolah dimaksudkan untuk dilanjutkan pada Senin (21/9) atas dasar sukarela untuk siswa berusia 14 hingga 17 tahun. Meski, banyak negara bagian India seperti Maharashtra dan Gujarat mengatakan pembukaan sekolah masih terlalu dini.
"Kasus masih meningkat pesat. Saya tidak tahu bagaimana kita dapat membuka kembali lembaga pendidikan sekarang," kata menteri pendidikan Benggala Barat Partha Chatterjee.
Di tempat lain, sekolah menolak untuk membuka atau orang tua khawatir mengirim anak-anak mereka untuk bersekolah di sekolah lagi. "Saya bersiap untuk anak saya kehilangan satu tahun akademis karena tidak pergi ke sekolah daripada mengambil risiko mengirimnya," kata Nupur Bhattacharya, ibu dari seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun di Bangalore.