REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- House of Representatives Amerika Serikat (AS) meloloskan rancangan undang-undang (RUU) berjudul The Uyghur Forced Labor Prevention Act, Selasa (22/9). RUU itu mengatur tentang larangan impor produk yang berasal dari Daerah Otonomi Xinjiang Uyghur, China.
RUU itu lolos dengan perolehan suara signifikan yakni 406 mendukung dan tiga menolak. Dalam RUU disebutkan bahwa pemeriksaan pasokan produk dari Xinjiang tidak dapat diandalkan karena praktik kerja paksa telah diintegrasikan ke dalam ekonomi regional.
RUU mencatat bahwa barang atau produk yang dibuat dengan kerja paksa adalah ilegal berdasarkan Undang-Undang Tarif tahun 1930. "Tragisnya, hasil kerja paksa sering berakhir di sini, di toko-toko dan rumah-rumah Amerika," kata Ketua House of Representatives AS Nancy Pelosi, dikutip laman the Straits Times.
Menurut dia, AS perlu mengirim pesan yang jelas kepada Beijing mengenai hal tersebut. "Pelanggaran ini harus diakhiri sekarang," ujar Pelosi.
The Uyghur Forced Labor Prevention Act tidak hanya mengatur tentang pelarangan impor barang atau produk, tapi juga hasil tambang. Pengecualian akan dibuat jika Komisioner Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS menentukan dengan bukti yang jelas dan meyakinan bahwa barang dagangan tertentu tidak diproduksi seluruhnya atau sebagian oleh narapidana kerja, kerja paksa, atau buruh kontrak di bawah sanksi hukuman.
RUU itu masih harus disahkan oleh Senat yang mungkin memiliki waktu terbatas sebelum pemilihan presiden dihelat pada 3 November. The Uyghur Human Rights Project (UHRP) menyambut diloloskannya The Uyghur Forced Labor Prevention Act. Menurutnya, itu menjadi undang-undang nasional pertama di dunia yang menegakkan standar hak asasi manusia (HAM) untuk mengakhiri impor barang hasil kerja paksa minoritas Uyghur.
"Orang Amerika tidak ingin terlibat dalam membeli produk yang dibuat oleh Uyghur yang dikunci di pabrik kerja paksa Cina," kata Direktur Eksekutif UHRP Omer Kanat dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Radio Free Asia.
Dia mendorong Senat untuk mengambil sikap serupa dengan House of Representatives AS. "Semua pemerintah harus memberlakukan tindakan untuk melawan kekejaman massal pemerintah Cina, yang dilakukan dalam skala yang tidak terlihat sejak Perang Dunia II," ujar Kanat.
Pemerintah China telah membantah adanya praktik kerja paksa di Provinsi Xinjiang. "Apa yang disebut masalah 'kerja paksa' (di Xinjiang) benar-benar dibuat-buat oleh beberapa organisasi dan individu Barat, yang sepenuhnya bertentangan dengan fakta," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Cina Wang Wenbin pada 15 September lalu, dikutip laman resmi Kemlu China.