REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyampaikan keprihatinan atas pecahnya pertempuran antara Armenia dan Azerbaijan di wilayah yang dipersengketakan Nagorno-Karabakh. Dia meminta kedua belah pihak segera menghentikan aksi permusuhan.
"Dia (Guterres) mengutuk penggunaan kekuatan dan menyesali hilangnya nyawa serta korban pada penduduk sipil," kata juru bicara Guterres, Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan pada Ahad (27/9), dikutip laman UN News.
Guterres menyerukan kedua belah pihak segera mengurangi ketegangan. "Sekretaris Jenderal dengan keras menyerukan kepada pihak-pihak untuk segera menghentikan pertempuran, mengurangi ketegangan, dan kembali ke negosiasi yang berarti tanpa penundaan," ujar Dujarric.
Terkait hal itu, Guterres menegaskan kembali dukungan penuh untuk peran penting the Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) Minsk Group Co-Chairs. Ia adalah pihak yang menaungi perundingan damai Armenia dan Azerbaijan.
Pada Ahad lalu, pasukan Armenia dan Azerbijan terlibat pertempuran di wilayah Nagorno Karabakh. Menurut laporan media, setidanya 16 orang telah tewas. Itu menjadi pertempuran terburuk kedua negara dalam empat tahun terakhir.
Armenia menuding Azerbaijan melancarkan serangan udara dan artileri ke permukiman sipil warganya di Nagorno-Karabakh, termasuk kota utama Stepanakert. Secara internasional, Nagorno-Karabakh diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, tapi dikontrol pasukan Armenia. Kementerian Pertahanan Armenia mengatakan telah menembak jatuh dua helikopter dan tiga pesawat nirawak (drone) Azerbaijan sebagai respons atas serangan ke Nagorno-Karabakh.
Kementerian Pertahanan Azerbaijan menyebut telah meluncurkan serangan balasan guna menekan aktivitas tempur Armenia dan memastikan keselamatan penduduk. Azerbaijan mengerahkan tank, rudal artileri, penerbangan tempur, dan drone. Ia mengklaim telah menembak jatuh satu helikopter Armenia, tapi awaknya berhasil selamat.
Kedua negara telah mengumumkan darurat militer. Menurut laporan media, Armenia telah memerintahkan mobilisasi total militernya. Sengketa klaim atas Nagorno-Karabakh telah berlangsung selama beberapa dekade. Hal itu telah membuat hubungan Azerbaijan dan Armenia selalu dibalut ketegangan. Pada 1991, tepatnya selama konflik yang pecah ketika Uni Soviet runtuh, etnis Armenia di Nagorno-Karabakh mendeklarasikan kemerdekaan. Mereka merebut Karabakh dari Azerbaijan dalam perang yang menewaskan 30 ribu orang.
Meskipun gencatan senjata disepakati pada tahun 1994, Azerbaijan dan Armenia sering saling menuduh melakukan serangan di sekitar Nagorno-Karabakh dan di sepanjang perbatasan kedua negara yang terpisah. Pembicaraan untuk menyelesaikan sengketa Nagorno-Karabakh sebagian besar terhenti sejak perjanjian gencatan senjata.
Minsk Group, yang mencakup Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat, telah bekerja untuk menengahi perselisihan tersebut. Namun, dorongan besar terakhir untuk kesepakatan damai gagal pada 2010.