REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) juga dikenal dengan sebutan kesepakatan nuklir Iran, menimbulkan perpecahan antara Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Rezim mullah Iran dianggap pemenang terbesar dalam perselisihan antara AS dan Eropa atas kesepakatan nuklir Iran.
"Keretakan antara posisi dan pandangan menawarkan tempat yang berharga bagi para mullah untuk menegaskan posisi mereka. Itu mengirimi mereka pesan yang salah," kata analis politik Uni Emirat Arab (UEA), dan mantan kandidat Federal National Council, Salem AlKetbi dilansir dari laman Israel National News, pada Senin (28/9).
Dia mengatakan, perselisihan trans-Atlantik bukanlah tentang esensi dari krisis, ancaman yang ditimbulkan ambisi ekspansionis Iran. Namun ini tentang bagaimana menghadapi ancaman semacam itu.
Semejak awal kampanye pemilihan presiden pertama, Presiden AS, Donald Trump melihat bahwa kesepakatan nuklir P5+1 pada 2015 dengan rezim mullah tidak menyentuh semua isu terkait ancaman Iran.
"Ini dibuktikan dengan pengembangan program misil Iran yang sedang berlangsung. Perjanjian tersebut tidak membuat ketentuan untuk mencegah hal ini terjadi. Selain itu, ancaman dari negara tetangga dan campur tangan dalam urusan dalam negeri masih sangat nyata," ucap AlKetbi.
Untuk itu, Trump mengusulkan revisi kesepakatan tersebut. Dia akhirnya mengumumkan keluarnya AS dari perjanjian pada 2018, dan mengadopsi strategi sanksi keras untuk tekanan maksimum pada mullah.
"Pada bagian mereka, Eropa berjanji untuk mempertahankan perjanjian sambil berusaha untuk mengubah persyaratan untuk memasukkan semua masalah yang terkait dengan Iran dan hubungannya dengan kawasan dan komunitas internasional," kata dia.
Menurut AlKetbi, ada kesamaan antara partai-partai Amerika Serikat dan Eropa, konsensusnya adalah bahwa ancaman Iran ada. Secara khusus, rudal balistik yang dikembangkan rezim mullah menimbulkan risiko serius bagi keamanan, dan stabilitas negara-negara Eropa.
"Namun inti masalahnya terletak pada ketidakmampuan Amerika Serikat dan Eropa untuk mendamaikan sudut pandang mereka tentang poin-poin ketidaksepakatan mengenai negosiasi dengan Iran. Presiden Prancis Emmanuel Macron baru-baru ini mengatakan kepada PBB bahwa Prancis, Jerman dan Inggris tidak akan berkompromi dengan penolakan mereka untuk mendukung pemberlakuan kembali sanksi PBB terhadap Iran setelah Amerika Serikat mengambil inisiatif," paparnya.
Dia mengatakan, saat ini yang dilakukan mullah yakni menunjukkan ketahanan mereka, dan apa yang mereka lihat sebagai kegagalan strategi Trump di Iran. Hal ini dapat melemahkan peluangnya untuk memenangkan masa jabatan kedua. "Tetapi pada saat yang sama, mereka siap menelan pil pahit. Kubu Eropa kemudian akan menjadi pecundang terbesar dalam pertandingan ini," ucapnya
Perbedaan pendapat antara Eropa dan AS mungkin bukan hal baru dalam hubungan mereka. Di masa lalu, perbedaan tersebut tidak benar-benar melibatkan Inggris, mitra terdekat Washington di NATO. Kali ini, bagaimanapun, London sejalan dengan Paris dan Berlin untuk menjaga kesepakatan nuklir dengan Iran tetap hidup.
"Ini untuk kepentingan para mullah. Ini menjelaskan nada inflamasi dari wacana politik mereka, sampai mengklaim bahwa Amerika Serikat telah menjadi terisolasi secara internasional. Mereka tahu bahwa Presiden Trump tidak akan dapat membuat keputusan militer dalam periode yang sulit ini. Tetapi mereka lupa bahwa presiden non-tradisional ini bisa membuat keputusan mendadak," kata AlKetbi.
Sumber: http://www.israelnationalnews.com/News/News.aspx/287959