Kamis 01 Oct 2020 16:08 WIB

Anggota Proud Boys Ditangkap Akibat Serang Demonstran

Anggota Proud Boys ditangkap akibat serang demonstran anti-rasisme

Rep: Dwina Agustin/ Red: Christiyaningsih
Anggota Antifa (kiri) dan Proud Boys (kanan) tengah berdebat di Washington DC.
Foto: EPA
Anggota Antifa (kiri) dan Proud Boys (kanan) tengah berdebat di Washington DC.

REPUBLIKA.CO.ID, PORTLAND -- Seorang pendukung kelompok sayap kanan, Proud Boys, ditangkap pada Rabu (30/9) pagi. Penangkapan ini terjadi beberapa jam setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam debat presiden  mengatakan Proud Boys untuk "mundur dan tunggu".

Alan Swinney memiliki tato Proud Boy di lengan kanannya. Menurut dokumen pengadilan, dia didakwa pada 11 September karena diduga menyemprotkan, menyebabkan cedera fisik dengan pistol paintball, dan menodongkan pistol selama demonstrasi anti-rasisme di Portland, Oregano pada 15 Agustus dan 22 Agustus.

Baca Juga

Menurut pernyataan dari kantor Kejaksaan Distrik Multnomah County, Swinney ditahan di penjara Multnomah County atas 12 dakwaan. Beberapa dakwaan yang diterimanya termasuk penyerangan dan penggunaan senjata yang melanggar hukum.

Grup Proud Boys yang hanya terdiri dari laki-laki menggambarkan dirinya sebagai organisasi persaudaraan yang anti-politik. Namun, Southern Poverty Law Center mengklasifikasikannya sebagai kelompok kebencian, mengutip retorika anti-Muslim, dan misoginis dari anggota-anggotanya.

Nama kelompok ini kembali hangat diperbincangkan setelah tersebut oleh calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden. Ketika itu, Trump ditanya apakah dia bersedia mengecam "supremasi kulit putih dan kelompok milisi".

Moderator debat Chris Wallace meminta Trump agar mereka mundur di tengah kekerasan yang telah menodai protes anti-rasisme di beberapa kota AS. Trump minta nama tertentu dan Biden menyebut Proud Boys.

"Proud Boys, mundur dan tunggu," kata Trump. Komentar tersebut menuai kritik luas dan dipandang oleh banyak orang sebagai tanda penyemangat bagi kelompok tersebut.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement