REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) yang terjadi saat ini tanpa disadari telah mengubah berbagai kebiasaan orang-orang di seluruh dunia. Tak terkecuali dengan cara mengucapkan selamat tinggal, saat kematian terjadi pada salah satu anggota keluarga maupun kerabat.
Jumlah kematian akibat Covid-19 telah menembus angka satu juta. Tak hanya itu, lonjakan orang-orang yang meninggal akibat penyakit lainnya selama pandemi juga terjadi.
Pemakaman menjadi salah satu hal yang berubah selama pandemi Covid-19. Karena keramaian adalah hal yang dihindari, prosesi ini tidak akan dapat berjalan seperti pada umumnya. Bahkan, disebutkan ada sejumlah perlakukan yang tidak bermartabat terhadap mereka yang tiada.
“Memastikan perlindungan, martabat, dan penghormatan bagi orang mati dan keluarga mereka pada saat Covid-19 melampaui masalah kesehatan masyarakat,” ujar Oran Finegen, kepala unit forensik di Komite Internasional Palang Merah, dilansir CGTN, Kamis (1/10).
Bukan hanya masalah kesehatan masyarakat, tetapi keadaan darurat yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan kesehatan mental dalam berbagai cara, yang dampaknya akan berlangsung lama. Kurangnya situs pemakaman telah mengganggu pihak berwenang yang harus bersiap menghadapi gelombang kedua dan ketiga pandemi yang akan datang.
Di Guayaquil, salah satu kota terbesar di Ekuador, meninggalkan jenazah orang yang mereka cintai di jalanan menjadi praktik yang lazim. Rumah duka dan kuburan terus berupaya mengimbangi banyaknya jenazah. Dari Brasil hingga Yaman dan Inggris, pemerintah atau badan keagamaan setempat telah menggali kuburan ekstra jika terjadi peningkatan kematian akibat Covid-19.
Di New York, Amerika Serikat, lebih dari 32 ribu kematian telah mengakibatkan upacara pemakaman diadakan dengan tergesa-gesa. Bahkan ada jenazah yang ditinggalkan di truk dan lorong, serta terkadang selama berminggu-minggu, menunggu jadwal krematorium yang harus berjalan lama.
"Oleh karena itu, pandemi Covid-19 memaksa pihak berwenang meninjau rencana dan disposisi untuk memastikan cukup tempat pemakaman, termasuk di kuburan di kota-kota besar, misalnya, dengan menyediakan tanah kuburan baru dari kuburan tua," kata Finegen.
Stres dan kesedihan akibat kematian orang yang dicintai memburuk selama pandemi, di mana banyak yang harus meninggal tanpa dapat ditemui oleh keluarga dan kerabatnya sendirian. Di panti jompo, keluarga harus melihat di balik kaca pada kakek nenek atau orang tua mereka yang sudah lanjut usia, dan tidak dapat berkomunikasi secara langsung ketika mereka sangat membutuhkan kenyamanan pelukan dan bentuk keintiman lainnya.
Banyak pasien yang bahkan harus meninggal sendirian dalam balutan pakaian rumah sakit, meninggalkan keluarga mereka berduka karena orang yang mereka cintai tidak dapat mengenakan pakaian favorit mereka. Seorang pendeta di Inggris harus mempersembahkan persekutuan kepada beberapa orang yang akan dirawat di panti jompo di mana mereka meninggal tanpa ritual keagamaan tambahan.
Meskipun pertimbangan kesehatan dan keselamatan diperlukan untuk kematian akibat Covid-19, Finegen mengatakan sebaliknya dengan tidak melakukan ritual pemakaman seperti biasanya akan membuat mereka terkena tuduhan diskriminasi dan pelanggaran hak beragama dan kehidupan keluarga. Kematian yang terjadi selama pandemi membuat prosesi pemakaman sangat dibatasi.
Unit Finegen telah bekerja dengan pemerintah di sejumlah negara dan pihak berwenang lainnya untuk mengembangkan pedoman teknis dalam proses pemakaman atau menangani orang meninggal dengan aman dan bermartabat. Sementara itu, tim juga akan mempertimbangkan kebutuhan keluarga yang berduka.