REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Aktivis dari Faksi Fatah menuntut Otoritas Palestina menghentikan kebijakan diskriminatif terhadap karyawannya sendiri di Jalur Gaza. Hal ini lantaran gaji mereka dipotong atau dihentikan dalam tiga tahun terakhir.
Tuntutan tersebut muncul setelah Menteri Pembangunan Sosial Otoritas Palestina, Ahmed Majdalani, mengeluhkan adanya karyawan Otoritas Palestina di Gaza yang menerima gaji selama 13 tahun terakhir meski tidak melakukan pekerjaan apa pun, dilansir di The Jerusalem Post, Senin (5/10).
Majdalani, yang juga anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, tidak habis pikir para karyawan itu harus terus menerima gaji penuh. Termasuk pembayaran untuk transportasi dan hak istimewa lainnya. Padahal mereka menganggur.
Tuntutan untuk menghentikan kebijakan diskriminatif itu merupakan tanda ketidakpuasan yang meningkat di antara para pejabat Fatah di Jalur Gaza dengan Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas dan kepemimpinan Otoritas Palestina.
Beberapa warga Palestina menyebut, permintaan itu dapat memicu pemberontakan di internal Fatah di Jalur Gaza di mana faksi tersebut memiliki puluhan ribu anggota.
Pemerintah Otoritas Palestina memerintahkan ribuan karyawannya untuk tetap di rumah setelah Hamas menguasai Jalur Gaza pada tahun 2007. Otoritas Palestina tidak ingin ribuan karyawan itu terus bekerja di bawah pemerintahan Hamas.
Namun pada 2017, pemerintah Otoritas Palestina menghadapi krisis keuangan yang parah. Sehingga memutuskan untuk menangguhkan atau memotong gaji karyawan. Namun ketidakpuasan tumbuh di antara mereka karena rekan-rekan mereka di Tepi Barat terus menerima gaji mereka secara penuh.
Para aktivis telah meluncurkan kampanye daring bertajuk "Hentikan Diskriminasi" di mana mereka menuduh Abbas dan pemerintah Otoritas Palestina gagal memenuhi kewajiban mereka kepada karyawan mereka di Gaza.