REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Organisasi hak asasi manusia (HAM) Human Rights Watch (HRW) mengatakan kehidupan 130 ribu Muslim Rohingya di kamp pengungsi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, sangat mengkhawatirkan. HRW mendesak agar penahanan sewenang-wenang terhadap mereka segera dihentikan.
“Pemerintah Myanmar telah menahan 130 ribu Rohingya dalam kondisi tidak manusiawi selama delapan tahun, terputus dari rumah, tanah, dan mata pencaharian mereka, dengan sedikit harapan bahwa keadaan akan membaik,” kata Shayna Bauchner dari HRW dikutip laman Aljazirah pada Kamis (8/10).
Bauchner, dalam laporannya yang ditulis untuk HRW, mengatakan penahanan massal Muslim Rohingya di kamp-kamp tersebut tak ubahnya seperti penjara terbuka. Laporan setebal 169 halaman turut mengungkap bahwa puluhan ribu etnis Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian mengalami "keterbatasan parah" dalam mata pencaharian, termasuk ruang gerak.
Dalam laporan itu disebutkan otoritas Myanmar mendirikan pos pemeriksaan dan pagar kawat berduri di sekitar kamp dan desa Rohingya. "Kamp itu bukan tempat yang layak huni bagi kami," kata seorang pria Rohingya yang diwawancarai HRW dan dicantumkan dalam laporannya.
Pria Rohingya lainnya mengutarakan hal serupa. Dia mengatakan kehidupan di kamp sangat menyakitkan. "Tidak ada kesempatan untuk bergerak dengan bebas. Kami tidak memiliki apa pun yang disebut kebebasan," ucapnya.
Mereka mengaku tak tahu harus sampai kapan hidup dalam kondisi terkungkung seperti itu. "Saya pikir sistemnya permanen. Tidak ada yang berubah. Itu hanya kata-kata," ujar seorang wanita Rohingya.
Laporan HRW mengatakan kondisi kehidupan di kamp-kamp tersebut "semakin mengancam hak hidup dan hak-hak dasar Rohingya". Masalah kesejahteraan, pangan, dan kesehatan kian memburuk dari waktu ke waktu. Etnis Rohingya yang hidup di luar kamp mengalami hal yang tak jauh berbeda. Mereka menghadapi penyiksaan dan bentuk kekerasan lainnya oleh pasukan keamanan Myanmar.
HRW meminta komunitas internasional untuk memberikan lebih banyak tekanan pada pemerintah Myanmar dan meminta pertanggungjawaban pejabat atas dugaan pelanggaran tersebut. Bauchner selaku penulis laporan mendesak pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan pihak militer mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin kebebasan Rohingya di negara tersebut.
"Klaim pemerintah (Myanmar) bahwa mereka tidak melakukan kejahatan internasional yang paling parah akan menjadi hampa sampai mereka memotong kawat berduri dan memungkinkan Rohingya untuk kembali ke rumah mereka, dengan perlindungan hukum penuh," kata Bauchner.
Pada September lalu, militer Myanmar mengatakan sedang menyelidiki kasus kekerasan terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine yang terjadi pada Agustus 2017. Mereka menduga ada kemungkinan pola pelanggaran yang lebih luas.
Dalam sebuah pernyataan yang dimuat di media pemerintah pada 15 September, militer Myanmar untuk pertama kalinya mengakui adanya kemungkinan pola pelanggaran lebih luas yang dilakukan pasukannya. Kantor Jaksa Agung Myanmar yang dikelola militer disebut telah meninjau laporan hasil temuan komisi yang didukung pemerintah.
Dalam laporan itu tentara Myanmar dituding melakukan kejahatan perang saat terlibat dalam operasi di Rakhine pada Agustus 2017. Menurut militer, saat ini Kantor Jaksa Agung tengah menyelidiki kemungkinan pelanggaran lebih luas di wilayah utara Rakhine pada 2016-2017.
"Tuduhan mengenai desa-desa di wilayah Maungdaw termasuk dalam ruang lingkup penyelidikan yang lebih luas ini," kata militer Myanmar, merujuk pada distrik di perbatasan dengan Bangladesh yang menjadi fokus operasi keamanannya pada 2017, dikutip laman Aljazirah.
Namun dalam pernyataan yang dimuat di media pemerintah, militer Myanmar tetap membantah melakukan genosida. Mereka mengatakan operasi yang dilakukan dengan menargetkan kelompok pemberontak Rohingya adalah sah.
Kendati demikian, militer Myanmar mengklaim telah mengadili beberapa pasukan atas insiden di desa-desa tertentu. Namun rincian tentang pelaku, kejahatan yang dilakukannya, dan hukuman terhadapnya belum dirilis.