Jumat 09 Oct 2020 21:45 WIB

Beban Sejarah Halangi Perdamaian Antara Armenia dan Azerbaijan 

Beban historis diyakini akan mempersulit upaya mendamaikan kedua negara. 

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
picture-alliance/AP Photo/V. Baghdasaryan
picture-alliance/AP Photo/V. Baghdasaryan

Ketika Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev berbagi panggung dengan PM Armenia, Nikol Pashinyan, dalam kesempatan langka di sela-sela Konferensi Keamanan München, Februari silam, keduanya diajak membahas sejarah perseteruan di Nagorno-Karabakah. Pembicaraan itu berlangsung pedas.

“Untuk menyudahi konflik, pertama kita harus kembali dan melihat masalah sejarah,” kata Aliyev yang bersikeras klaim teritorial Azerbaijan terhadap Nagorno-Karabakh, didukung “kebenaran sejarah.”

“Saya ingin meminta Presiden Aliyev agar tidak terlalu jauh kembali ke sejarah,” jawab Pashinyan.

Dia menegaskan kawasan pegunungan itu hanya menjadi bagian Azerbaijan atas dasar sebuah keputusan yang diambil di masa-masa awal Uni Soviet.

Pertukaran pemikiran tersebut mengungkap betapa tafsir sejarah yang berpaut jauh mempersulit resolusi konflik paling liar yang diwariskan Soviet Rusia di Asia Tengah. Sejararawan meyakini, beban sejarah merintangi kedua negara mencapai kesepakatan jangka panjang.

Bagi Azerbaijan, Nagorno-Karabakh adalah wilayah teritorialnya. Klaim ini juga didukung secara resmi oleh PBB. Sebaliknya bagi Armenia, Karabakh yang direbut Kekaisaran Rusi pada awal abad ke19, hanya menjadi bagian Azerbaijan lantaran keputusan dadakan pemerintah Uni Soviet.

Dalam pembicaraan di München, Pashinyan mengatakan keputusan memasukkan Nagorno Karabakah ke dalam wilayah Azerbaijan dibuat pada awal 1920-an, menyusul “insiatif pribadi” Joseph Stalin, yang saat ini menjabat komisaris bangsa-bangsa di Uni Soviet.

Ucapan Pashinyan sontak dibantah oleh Aliyev.

Pertalian Ruwet Armenia dan Azerbaijan

Upaya Armenia merebut Karabakh sudah dimulai sejak era Uni Soviet. Langkah ini tidak didukung pemerintah Moskow saat itu. Namun konflik kembali menyeruak ketika pengaruh Rusia melemah dan Uni Soviet berada di jurang keruntuhan.

Armenia kemudian memenangkan perang melawan Azerbaijan ketika gencatan senjata disepakati. Akibatnya rtusan ribu warga Azerbaijan terusir dari Karabakh dan tujuh wilayah lain di Azerbaijan yang diduduki Armenia.

Akibatnya warga etnis Armenia saat ini mendominasi populasi penduduk di Nagorno-Karabakh.

Status quo tersebut, pendudukan tanpa deklarasi kemerdekaan, didukung oleh pemerintah Yerevan hingga kini.

“Posisi Armenia dan Azerbaijan sudah sedemikian membatu, dunia internasional tidak memiliki pengaruh apapun terhadap kedua negara,” kata Nicu Popescu, Direktur Program Eropa Luas di Dewan Eropa untuk Kebijakan Luar Negeri.      

      

Dia meyakini skenario paling realistis saat ini adalah eskalasi perang yang akan “mengiris” wilayah Karabakh. “Kita harus kembali ke sana,” kata Presiden Aliyev, akhir pekan silam, dan menyebut wilayah pegunungan itu sebagai “rumah kita.”

Agustus silam, saat PM Pashinyan mengunjungi Karabakah, dia untuk pertama kalinya menyerukan penyatuan dengan Armenia. “Artsakh (Karabakh) adalah Armenia. Titik.”

Beban sejarah masa lalu

Hingga kini kedua negara merawat tafsir sejarah versi sendiri yang fokus membahas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan masing-masing lawan, serta melewatkan sejarah kekejaman sendiri.

Armenia misalnya mengenang pembantaian Sumgait di Azerbaijan, ketika kerusuhan massal pada Februari 1988 menyisakan 26 korban jiwa warga etnis Armenia. Tapi di Khojaly, 1992, Armenia menembaki warga sipil yang berusaha melarikan diri dalam sebuah pembantaian, yang menurut Azerbaijan, menewaskan ratusan orang.

Sejak gencatan senjata berakhir pada ketegangan terakhir tahun 2016 silam, “proses perundingan damai dihentikan melalui komunikasi yang dilakukan dalam retorika yang penuh amarah,” tulis seorang analis di lembaga penelitian, International Crisis Group.

Adapun keterlibatan Turki, memicu dendam sejarah bagi Armenia yang menuduh Ankara berusaha mengingkari tanggung jawab Kesultanan Utsmaniyah dalam pembantaian etnis Armenia pada 1924, yang ditaksir menewaskan hingga 1,5 juta orang.

Meski demikian analis meyakini tafsir nasionalistik terhadap sejarah tidak memupus budaya kehidupan damai antara kedua bangsa selama kekuasaan Uni Soviet.

“Seseorang sebaiknya mencetak ulang naskah Perjanjian Persahabatan 1724 di era Persia dan ditandatangani oleh penguasa Karabakh dari Armenia dan Khan Ganje di Azerbaijan untuk melawan Kesultanan Utsmaniyyah,” ujar Tom de Waal, peneliti senior di Carnegie Europe, usai perang mulut antara Aliyev dan Pashinyan dalam Konferensi Keamanan di München.

Agence France-Presse

rzn/ap

     

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement