REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International meminta Dewan Keamanan PBB segera menindak Myanmar di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait kekerasan terhadap etnis Rohingya. Menurut Amnesty International, bukti pelanggaran yang dilakukan militer, termasuk penembakan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil semakin banyak.
Wakil Direktur Regional untuk Kampanye Amnesty International Ming Yu Hah mengatakan konflik antara militer Myanmar dan gerilyawan Rohingya, Arakan Army, masih terus berlangsung. “Tidak ada tanda-tanda konflik antara Arakan Army dan militer Myanmar mereda, dan warga sipil terus menanggung beban,” ucapnya, dikutip laman Aljazirah pada Senin (12/10).
Menurut Ming, dari hari ke hari pelanggaran tersebut semakin mengkhawatirkan. Pada September lalu, misalnya, militer Myanmar mengakui bahwa tiga tentaranya telah memperkosa seorang wanita Rohingya. Namun dalam keterangan yang dirilis, militer tak menyebutkan nama pelaku, tapi justru mengungkap identitas korban. “Bahkan ketika militer Myanmar dipaksa untuk mengakui kesalahan, penanganan mereka atas kasus kekerasan seksual yang mengerikan ini menunjukkan pengabaian sama sekali terhadap akuntabilitas,” kata Ming.
Menurut Amnesty, analisis satelit dan kesaksian saksi baru menunjukkan bahwa tentara Myanmar membakar sebuah desa di Rakhine tengah pada awal September. Seorang saksi pun memberi tahu Amnesty bahwa tentara melancarkan serangan ke desa lain, Hpa Yar Paung di Rakhine, pada 3 September.
Pekan lalu, organisasi HAM Human Rights Watch (HRW) mengatakan kehidupan 130 ribu Muslim Rohingya di kamp pengungsi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, sangat mengkhawatirkan. HRW mendesak agar penahanan sewenang-wenang terhadap mereka segera dihentikan.
“Pemerintah Myanmar telah menahan 130 ribu Rohingya dalam kondisi tidak manusiawi selama delapan tahun, terputus dari rumah, tanah, dan mata pencaharian mereka, dengan sedikit harapan bahwa keadaan akan membaik,” kata Shayna Bauchner dari HRW, dikutip laman Aljazirah pada Kamis (8/10).
Bauchner, dalam laporannya yang ditulis untuk HRW mengatakan penahanan massal Muslim Rohingya di kamp-kamp tersebut tak ubahnya seperti penjara terbuka. Laporan setebal 169 halaman turut mengungkap bahwa puluhan ribu etnis Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian mengalami "keterbatasan parah" dalam mata pencaharian, termasuk ruang gerak.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa otoritas Myanmar mendirikan pos pemeriksaan dan pagar kawat berduri di sekitar kamp dan desa Rohingya. "Kamp itu bukan tempat yang layak huni bagi kami," kata seorang pria Rohingya yang diwawancarai HRW dan dicantumkan dalam laporannya.
Laporan HRW mengatakan kondisi kehidupan di kamp-kamp tersebut "semakin mengancam hak hidup dan hak-hak dasar Rohingya". Masalah kesejahteraan, pangan, dan kesehatan kian memburuk dari waktu ke waktu. Sementara itu, etnis Rohingya yang hidup di luar kamp mengalami hal yang tak jauh berbeda. Mereka menghadapi penyiksaan dan bentuk kekerasan lainnya oleh pasukan keamanan Myanmar.
HRW meminta komunitas internasional untuk memberikan lebih banyak tekanan pada pemerintah Myanmar dan meminta pertanggungjawaban pejabat atas dugaan pelanggaran tersebut. Bauchner selaku penulis laporan mendesak pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan pihak militer mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin kebebasan Rohingya di negara tersebut.
"Klaim pemerintah (Myanmar) bahwa mereka tidak melakukan kejahatan internasional yang paling parah akan menjadi hampa sampai mereka memotong kawat berduri dan memungkinkan Rohingya untuk kembali ke rumah mereka, dengan perlindungan hukum penuh," kata Bauchner.