REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pada 20 Oktober 2011, pemimpin terlama di Afrika dan dunia Arab, Moammar Gaddafi ditangkap dan dibunuh oleh pasukan pemberontak di Sirte, Libya. Diktator eksentrik berusia 69 tahun itu memimpin pemerintahan Libya dan dituduh melakukan banyak pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyatnya sendiri.
Selama lebih dari 40 tahun, sejak 1969 hingga 2011, Libya berada di bawah pemerintahan seorang sang diktator. Dia juga dituduh dalang terkait dengan serangan teroris, termasuk pengeboman 1988 terhadap pesawat jet Pan Am.Lockerbie, Skotlandia.
Gaddafi menjadi sosok yang sangat kontroversial, yang suka bepergian dengan kontingen pengawal perempuan, mengenakan jubah dan topi warna-warni atau seragam militer yang ditutupi medali. Dalam perjalanan ke luar negeri, ia mendirikan tenda bergaya Badui untuk menerima tamu.
Setelah lebih dari 40 tahun berkuasa, Gaddafi melihat rezimnya mulai runtuh pada Februari 2011, ketika protes anti-pemerintah pecah di Libya menyusul pemberontakan di Mesir dan Tunisia awal tahun itu. Gaddafi bersumpah untuk menghancurkan pemberontakan dan memerintahkan penumpasan dengan kekerasan terhadap para demonstran.
Namun, pada Agustus, pasukan pemberontak, dengan bantuan NATO, telah menguasai Tripoli dan membentuk pemerintahan transisi. Gaddafi bersembunyi, tetapi pada 20 Oktober 2011, dia ditangkap dan ditembak oleh pasukan pemberontak.
Dalam sejarah yang dikutip laman History, Gaddafi lahir dari keluarga Badui pada Juni 1942. Dia sempat mengikuti Akademi Militer Kerajaan di Benghazi saat masih muda dan sempat menerima pelatihan militer tambahan di Inggris Raya.
Pada 1 September 1969, ia memimpin kudeta tak berdarah yang menggulingkan raja pro-Barat Libya, Raja Idris, yang berada di luar negeri pada saat itu. Kemudian, Gaddafi muncul sebagai kepala pemerintahan revolusioner baru, yang segera memaksa penutupan pangkalan militer Amerika dan Inggris di Libya.
Dia langsung mengambil kendali atas sebagian besar industri minyak negara. Gaddafi dengan kejam juga menyiksa serta membunuh para pembangkang politik.
Kebijakannya membuat upaya gagal untuk menggabungkan Libya dengan negara-negara Arab lainnya. Gaddafi kemudian mulai mendanai kelompok teroris dan gerilya di seluruh dunia, termasuk Tentara Republik Irlandia dan Fraksi Tentara Merah di Jerman Barat.
Selain itu, pada pertengahan 1970-an, Gaddafi menerbitkan filsafat politiknya, yang menggabungkan teori sosialis dan Islam. Dikenal sebagai Buku Hijau, manifesto tersebut menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah Libya.
Para pengikutnya menyebut Gaddafi dengan gelar "Pemimpin Persaudaraan" dan "Pemandu Revolusi". Selama 1980-an, ketegangan meningkat antara Gaddafi dan Barat.
Libya dikaitkan dengan pengeboman pada April 1986 di klub malam Berlin Barat, Jerman, yang sering dikunjungi oleh personel militer Amerika. Amerika Serikat dengan cepat membalas dengan mengebom sasaran di Libya, termasuk kompleks Gaddafi di Tripoli, ibu kota negara. Presiden Ronald Reagan menyebut Gaddafi "anjing gila di Timur Tengah".
Pada 22 Desember 1988, Pan Am Penerbangan 103, dalam perjalanan dari London ke New York, diledakkan di atas Lockerbie, menewaskan 259 orang di dalamnya dan 11 orang di darat. Amerika Serikat dan Inggris mendakwa dua warga Libya dalam serangan itu, tetapi Gaddafi awalnya menolak untuk menyerahkan para tersangka.
Dia juga menolak untuk menyerahkan sekelompok orang Libya yang dicurigai dalam pengeboman 1989 terhadap sebuah jet penumpang Prancis di atas udara Niger yang menewaskan 170 orang. Selanjutnya, pada 1992, PBB menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Libya. Sanksi itu dicabut pada 2003, setelah negara secara resmi menerima tanggung jawab atas pengeboman tersebut dan setuju untuk membayar penyelesaian 2,7 miliar dolar AS kepada keluarga para korban.