REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang menjadi salah satu negara yang baik warga maupun pemerintahnya saat ini belum siap menghadapi kedatangan orang asing terkait pandemi virus corona jenis baru (Covid-19). Tak sedikit yang telah melihat bahwa tamu dari luar negeri adalah calon pembawa virus, bukan sarana untuk membantu perekonomian Negeri Matahari Terbit.
Menurut aturan baru Jepang, diperlukan hanya satu orang luar yang terinfeksi virus corona jenis untuk lolos dari langkah-langkah penyaringan ketat Jepang untuk kembali menutup negara itu lagi. Respons kebijakan awal terhadap Covid-19 di Negeri Sakura itu telah dinilai relatif terbatas dan lebih lambat dibandingkan dengan beberapa tetangganya di Asia.
Mantan perdana menteni Jepang Shinzo Abe saat itu membutuhkan waktu hampir tiga bulan untuk mengumumkan keadaan darurat setelah virus pertama kali terdeteksi pada pertengahan Januari. Terlepas dari arus masuk tahunan turis China dan mahasiswa asing yang sangat besar, pihak berwenang Jepang melihat virus corona sebagai masalah luar.
Bahkan kegagalan di sekitar kapal pesiar Diamond Princess yang berlabuh di Pelabuhan Yokohama telah menarik perhatian dunia. Pemerintah Jepang saat itu dinilai gagal untuk menerapkan langkah-langkah yang lebih ketat untuk mengendalikan penyebaran virus corona jenis baru.
Namun, meningkatnya angka infeksi di atas kapal pesiar dipandang tidak ada hubungannya dengan Jepang. Dilansir Nikkei Asian Review, faktanya, negara ini mendasarkan seluruh strategi pandemi pada pengujian terbatas pada populasi domestik dan mengandalkan identifikasi kelompok kecil sebelum mereka tumbuh menjadi wabah yang meluas.
Jepang menempatkan prioritas tertinggi pada kontrol perjalanan internasional, termasuk melarang kedatangan turis asing. Pada Oktober, sejumlah orang yang kembali, bisnis, warga pemegang visa jangka panjang, dan pelajar asing telah kembali diizinkan masuk ke negara itu dengan pemeriksaan virus di tempat untuk semua penumpang yang datang. Selain itu, ada sistem karantina sendiri untuk pendatang baru dengan pemeriksaan suhu harian dilaporkan ke otoritas lokal.
Salah satu kekuatan terbesar Jepang adalah kohesi sosial, yaitu rasa solidaritas yang hampir universal, rasa saling percaya, tanggung jawab, Tetapi pandemi COVID-19, dalam konteks ekonomi yang sangat global saat ini, sedang menguji kekuatan itu.
Orang dari luar Jepang secara otomatis dicurigai dan lebih mudah menjadi kambing hitam. Ketika kohesi sosial terputus, rasa saling percaya lebih sulit dipertahankan.
Bahkan sebelum pandemi, Jepang sudah berurusan dengan beberapa tingkat kepercayaan terendah di negara maju. Dalam Barometer Kepercayaan Edelman terbaru, hanya 15 persen orang di negara itu yang percaya bahwa mereka dan keluarga akan menjadi lebih baik dalam waktu lima tahun mendatang, dibandingkan dengan 36 persen di Korea Selatan (Korsel) dan 43 persen di Amerika Serikat (AS). Abe dan pemerintahannya juga mendapatkan dukungan publik dalam jumlah yang sangat rendah, meskipun dampak Covid-19 di Jepang lebih rendah dibandingkan dengan banyak negara lain.
Di Jepang, sejak akhir Mei, perjalanan domestik dipromosikan, dengan subsidi diberikan secara besar-besaran di seluruh wilayah negeri. Tanpa adanya turis asing, banyak warga yang dilaporkan sangat menikmati kekayaan alam di negara sendiri.
Pembukaan kembali secara bertahap juga merupakan sesuatu yang memungkinkan komunikasi dan perencanaan yang lebih strategis. Keterhubungan dan integrasi global harus berjalan lebih cepat di seluruh platform digital. Ini adalah waktu yang tepat bagi pemerintahan Suga untuk merangkul kolaborasi sains dan teknologi internasional bersama dengan lebih banyak keseimbangan gender.
Perlu diingat bahwa selama dekade terakhir, ekonomi Jepang bergantung pada segala hal global. Mulai dari perjalanan, perdagangan, pendidikan, dan pariwisata.
Namun demikian, Jepang tidak punya pilihan selain berjalan lebih lambat ketika harus mengizinkan orang asing kembali ke negara itu untuk membantu menciptakan perjalanan masa depan yang lebih sukses ke dalam masyarakat.