REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Secara teori, Eropa dan Amerika Serikat berdiri di sisi yang sangat berlawanan dalam hal pendudukan Israel di Palestina. Pemerintah Amerika Serikat sepenuhnya menerima status quo tragis yang diciptakan 53 tahun pendudukan militer Israel, sementara Uni Eropa terus menganjurkan penyelesaian yang dinegosiasikan dan didasarkan penghormatan terhadap hukum internasional.
Dalam praktiknya, terlepas dari keretakan yang terjadi antara Washington dan Brussels, pada dasarnya hasil yang ditunjukkan, sama. Amerika Serikat dan Eropa adalah mitra dagang, pemasok senjata, serta pendukung politik terbesar Israel.
Seorang jurnalis dan Editor The Palestine Chronicle, Ramzy Baroud, dalam artikelnya menyebut salah satu alasan mengapa ilusi Eropa terlihat lebih adil telah dipertahankan begitu lama. Sebagian, terletak pada kepemimpinan Palestina itu sendiri.
Ditinggalkan secara politik dan finansial oleh Washington, Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, beralih ke Uni Eropa sebagai satu-satunya penyelamat yang dianggap memungkinkan.
"Eropa percaya pada solusi dua negara," ujar Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh, selama diskusi video dengan Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Eropa pada 12 Oktober, dilansir di Milligazette, Ahad (25/10).
Tidak seperti Amerika Serikat , advokasi lanjutan Eropa atas solusi dua negara memenuhi syarat untuk mengisi celah besar yang diciptakan ketidakhadiran Washington. Shtayyeh meminta para pemimpin Uni Eropa untuk mengakui Negara Palestina agar pihaknya dan Uni Eropa mematahkan status quo.
Saat ini, sudah ada 139 negara yang mengakui Negara Palestina. Meski pengakuan tersebut merupakan indikasi jelas bahwa dunia tetap pro-Palestina dan mengakui Palestina sebagai sebuah Negara, namun di lapangan tidak banyak yang berubah.
Baroud menyebut yang dibutuhkan saat ini adalah upaya bersama meminta pertanggungjawaban Israel atas pendudukannya yang kejam, serta tindakan nyata mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Uni Eropa gagal dalam hal ini. Pada kenyataannya, UE bahkan melakukan hal yang sebaliknya, yakni mendanai Israel. UE juga empersenjatai militer Israel dan membungkam pengkritiknya. Berdasarkan kata-kata Shtayyeh, orang mendapat kesan jika pejabat tinggi Palestina sedang berpidato di konferensi negara-negara Arab, Muslim atau sosialis.
"Saya menyerukan kepada Parlemen dan anggota Parlemen Anda (UE) yang terhormat, agar Eropa tidak menunggu Presiden Amerika memberikan ide-ide. Kami membutuhkan pihak ketiga yang benar-benar dapat memperbaiki ketidakseimbangan dalam hubungan antara rakyat yang diduduki dan sebuah negara penjajah, yaitu Israel," ujarnya.
Tetapi apakah Uni Eropa memenuhi syarat untuk menjadi 'pihak ketiga' itu? Tidak. Selama beberapa dekade, pemerintah Eropa telah menjadi bagian integral dari blok Amerika Serikat-Israel.