REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Gambia telah mengajukan gugatan lanjutan terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional (ICJ) atas dugaan genosida terhadap etnis Rohingya. Lebih dari 500 halaman dan 5.000 halaman materi pendukung diserahkan pada Jumat (23/10).
Sebelum pengajuan tersebut, pada November 2019, Gambia membuka kasus di ICJ terhadap Myanmar karena gagal mencegah atau menghukum tindakan genosida terhadap Muslim Rohingya. Pada 23 Januari 2020, ICJ dengan suara bulat mengesahkan langkah-langkah sementara yang mengikat secara hukum mengharuskan Myanmar mengambil semua langkah untuk mencegah tindakan genosida, termasuk pembunuhan, penderitaan mental atau fisik yang parah, dan tindakan lain yang tercantum dalam Konvensi Genosida. Atas keputusan itu, Myanmar akan mengajukan banding di ICJ pada 23 Juli 2021, sebagai tanggapan atas tuduhan Gambia.
Langkah Gambia melanjutkan kasus tanpa peduli dengan gugatan balasan dari Myanmar mendapatkan sambutan hangat dari banyak pihak. "Hari ini (peringatan) adalah langkah lain menuju keadilan bagi Rohingya," kata kepala eksekutif di kelompok hak-hak sipil Fortify Rights, Matthew Smith.
Dikutip dari Anadolu Agency, Fortify Rights menyatakan, sekitar 600 ribu etnis Rohingya tetap berada di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Wilayah itu menjadi tempat mereka menghadapi genosida yang sedang berlangsung. Sedangkan, sebanyak 125 ribu etnis Rohingya harus terkurung di 20 kamp pengasingan.
Fortify Rights menuduh pihak berwenang Myanmar terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya bahkan setelah tindakan sementara diputuskan oleh ICJ. Aktivis hak dan salah satu pendiri Koalisi Rohingya Merdeka, Ro Nay San Lwin, menyambut baik langkah Gambia dan mendesak komunitas global untuk memberikan dukungan.
"Terlepas dari perintah Mahkamah Internasional, pemerintah dan militer Myanmar terus melakukan penganiayaan mengerikan terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine. Ada konflik bersenjata yang berlanjut di negara bagian Rakhine. Penduduk desa Rakhine dan Rohingya terkena dampak buruk," kata Ro Nay.
Ro Nay menyatakan, otoritas lokal menggunakan penyebaran Covid-19 sebagai dalih untuk menganiaya lebih banyak etnis Rohingya. Banyak warga terbunuh di tengah pertempuran antara militer Myanmar dan Tentara Arakan atau kelompok milisi kelompok yang aktif di hutan-hutan utara Rakhine.
"Militer Myanmar menggunakan Rohingya sebagai perisai manusia selama pertarungan dengan Tentara Arakan," kata Ro Nay menegaskan bahwa Myanmar tidak mematuhi perintah ICJ.
Komisaris Bangladesh untuk bantuan pengungsi dan pemulangan, Mohammad Shamsu Douza, juga menyambut baik peringatan Gambia. Dia meyakinkan bahwa Bangladesh akan memberikan semua dukungan sebisa mungkin untuk kasus penindasan terhadap orang-orang Rohingya di ICJ.
Mohammad juga mendesak komunitas internasional untuk mendukung Gambia dalam menjamin keadilan bagi Rohingya untuk meningkatkan tekanan pada Myanmar. Cara tersebut dilakukan untuk menghentikan kekejaman terhadap kelompok itu dan memulangkan sekitar 1,2 juta etnis Rohingnya yang saat ini berlindung di Cox's Bazar, Bangladesh.