Senin 02 Nov 2020 06:41 WIB

Muslim Etnis Rohingya Ingin Hidup Damai di Rakhine

Militer Myanmar dituding meningkatkan "perang propaganda" memusuhi Rohingya

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Sebanyak 29 pembela hak asasi Rohingya dari seluruh dunia mengatakan etnis Rohingya menginginkan hidup berdampingan secara damai dengan warga Rakhine di Myanmar. Menurut mereka, militer Myanmar berperan dalam menciptakan konflik di wilayah tersebut.

“Pertunjukan solidaritas antara orang Rohingya dan Rakhine, yang sama-sama menderita di bawah Tatmadaw (Tentara Myanmar) jelas membuat Tatmadaw gugup dan mereka mencoba untuk menanamkan perselisihan antara dua masyarakat kami,” kata 29 pembela hak asasi Rohingya dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (31/10), dikutip laman Anadolu Agency.

Baca Juga

Mereka mengklaim dorongan untuk menciptakan perpecahan antara etnis Rohingya dan warga Rakhine tengah berlangsung. Mereka menuding militer Myanmar meningkatkan "perang propaganda", termasuk di media sosial. "Ini menempatkan kehidupan 600 ribu Rohingya yang tersisa di Negara Bagian Rakhine dalam bahaya besar, serta semua Rakhine yang tinggal di sana," kata mereka.

Mereka mendesak komunitas internasional untuk segera membicarakan masalah tersebut dengan Pemerintah Myanmar. Menurut mereka, komunitas internasional masih belum tegas menindak Myanmar atas kekejaman yang dilakukan kepada etnis Rohingya. "Satu-satunya harga yang dibayar Tatmadaw untuk genosida Rohingya adalah sejumlah kecil tentara dilarang menikmati liburan di Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS)," kata mereka.

“Kami menyerukan kepada semua negara untuk mendukung dan mempertahankan langkah tentatif membangun kepercayaan yang telah terjadi antara Rohingya, warga Rakhine dan, komunitas lain di Negara Bagian Rakhine, dan membuat pernyataan publik, memastikan bahwa komunitas menyadari trik dan kampanye kotor Tatmadaw," ujar mereka menambahkan.

Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International telah meminta Dewan Keamanan PBB segera menindak Myanmar di hadapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait kekerasan terhadap etnis Rohingya. Menurut Amnesty International, bukti pelanggaran yang dilakukan militer, termasuk penembakan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil semakin banyak.

Wakil Direktur Regional untuk Kampanye Amnesty International Ming Yu Hah mengatakan konflik antara militer Myanmar dan gerilyawan Rohingya, Arakan Army, masih terus berlangsung. “Tidak ada tanda-tanda konflik antara Arakan Army dan militer Myanmar mereda, dan warga sipil terus menanggung beban,” ucapnya, dikutip laman Aljazirah pada 12 Oktober lalu.

Menurut Ming, dari hari ke hari pelanggaran tersebut semakin mengkhawatirkan. Pada September lalu, misalnya, militer Myanmar mengakui bahwa tiga tentaranya telah memperkosa seorang wanita Rohingya. Namun dalam keterangan yang dirilis, militer tak menyebutkan nama pelaku, tapi justru mengungkap identitas korban.

“Bahkan ketika militer Myanmar dipaksa untuk mengakui kesalahan, penanganan mereka atas kasus kekerasan seksual yang mengerikan ini menunjukkan pengabaian sama sekali terhadap akuntabilitas,” kata Ming.

Menurut Amnesty, analisis satelit dan kesaksian saksi baru menunjukkan bahwa tentara Myanmar membakar sebuah desa di Rakhine tengah pada awal September. Seorang saksi pun memberi tahu Amnesty bahwa tentara melancarkan serangan ke desa lain, Hpa Yar Paung di Rakhine, pada 3 September.

Sebelumnya organisasi HAM Human Rights Watch (HRW) mengatakan kehidupan 130 ribu Muslim Rohingya di kamp pengungsi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, sangat mengkhawatirkan. HRW mendesak agar penahanan sewenang-wenang terhadap mereka segera dihentikan.

“Pemerintah Myanmar telah menahan 130 ribu Rohingya dalam kondisi tidak manusiawi selama delapan tahun, terputus dari rumah, tanah, dan mata pencaharian mereka, dengan sedikit harapan bahwa keadaan akan membaik,” kata Shayna Bauchner dari HRW.

Bauchner, dalam laporannya yang ditulis untuk HRW mengatakan penahanan massal Muslim Rohingya di kamp-kamp tersebut tak ubahnya seperti penjara terbuka. Laporan setebal 169 halaman turut mengungkap bahwa puluhan ribu etnis Rohingya yang tinggal di kamp pengungsian mengalami "keterbatasan parah" dalam mata pencaharian, termasuk ruang gerak.

Dalam laporan itu disebutkan bahwa otoritas Myanmar mendirikan pos pemeriksaan dan pagar kawat berduri di sekitar kamp dan desa Rohingya. "Kamp itu bukan tempat yang layak huni bagi kami," kata seorang pria Rohingya yang diwawancarai HRW dan dicantumkan dalam laporannya.

Laporan HRW mengatakan kondisi kehidupan di kamp-kamp tersebut "semakin mengancam hak hidup dan hak-hak dasar Rohingya". Masalah kesejahteraan, pangan, dan kesehatan kian memburuk dari waktu ke waktu. Sementara itu, etnis Rohingya yang hidup di luar kamp mengalami hal yang tak jauh berbeda. Mereka menghadapi penyiksaan dan bentuk kekerasan lainnya oleh pasukan keamanan Myanmar.

HRW meminta komunitas internasional untuk memberikan lebih banyak tekanan pada pemerintah Myanmar dan meminta pertanggungjawaban pejabat atas dugaan pelanggaran tersebut. Bauchner selaku penulis laporan mendesak pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan pihak militer mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin kebebasan Rohingya di negara tersebut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement