REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pemerintah Prancis pertimbangkan menunjuk utusan khusus untuk menjelaskan gagasan Presiden Emmanuel Macron mengenai sekularisme dan kebebasan berekspresi pada negara Muslim. Langkah yang diambil demi memadamkan gerakan anti-Prancis di negara-negara Islam.
Sentimen anti-Prancis berpotensi memperdalam konflik antara Macron dan Turki. Paris dan Ankara sudah bersitegang atas Libya dan eksplorasi minyak dan gas di timur Mediterania.
Macron sudah menggelar satu wawancara panjang dengan Aljazirah untuk menjelaskan maksudnya. Tapi sejuh ini ia hanya mendapat dukungan dari Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash.
Pada Kamis (5/11), the Guardian, melaporkan Macron sudah berbicara melalui sambungan telepon dengan Presiden Palestina Mahmood Abbas. Macron ingin menjelaskan ia membedakan antara terorisme dan ekstremisme dengan Islam dan pemikiran Islam.
Banyak pemimpin-pemimpin negara Arab mengecam serangan-serangan ekstremis di Prancis. Seperti pembunuhan guru sekolah menengah pertama Samuel Paty pada 16 Oktober lalu, penyerangan di Nice yang menewaskan tiga orang dan serangan di Wina, Austria.
Namun mereka juga mengkritik sikap Macron dalam kebebasan berekspresi. Selain ini ada kekhawatiran media-media Turki dan Qatar memuat opini yang mengklaim hak muslim di Prancis ditekan.
Media Iran telah memojokan Macron dengan menggambarkan sebagai orang jahat. Gambar foto Macron juga dibakar 50 ribu pengunjuk rasa di Bangladesh yang turun ke jalan menuntut boikot produk Prancis. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia.
"Tolak semua upaya mengaitkan Islam dengan terorisme dan mengecam kartun Nabi," kata Kementerian Luar Negeri Arab Saudi dalam pernyatan mereka. n Lintar Satria