REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kekerasan politik adalah praksis politik yang mengandalkan kekuatan-kekuatan senjata atau kekuatankekuatan bengis lainnya se bagai jalan penyelesaian sengketa politik. Praksis politik bagi para pelaku kekerasan tidak lain adalah menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan dan keinginan politik ala Nicollo Machiavelli.
Bagi politikus Italia ini, demi mencapai tu juantujuan politik, tidak perlu mempertimbangkan keagungan moral dan keluhuran etika politik. Dan, jika itu telah menjadi suatu kebiasaan, kedahsyatan-destruktif dan agresivitas- eksklusif menjadi ancaman serius bagi perkembangan sosial-politik di mana pun.
Namun, itulah realitas brutal yang selalu menyertai manusia dalam perjalanan sejarahnya, di mana menurut Michael Foucault dan Jacques Derrida, merupakan suatu bentuk komunikasi politik yang memang mustahil lenyap dari muka bumi, khususnya di tengah masyarakat yang masih diimpit ketidakadilan dan dibaluti semangat kebiadaban. Atau yang oleh Habermas, disebut sebagai strategic rationality communication, sebuah strategi komunikasi akal-akalan nonetika, yang hanya berorientasi mencari kemenangan.
Pertanyaannya, mengapa di era modern ini bangsa Israel dan juga bangsa-bangsa lain di dunia dalam memperjuangkan kepentingan politiknya masih juga menempuh jalan kekerasan?
Menurut Aaron T Beck, psikiater dari Universitas Pensylvania, kekerasan politik yang dipertontonkan pada umumnya merupakan wujud dari balas dendam atas berbagai perlakuan yang tidak adil dan perilaku diskriminasi, yang terpendam sekian lama dalam sebuah masyarakat bangsa dan tidak diperhatikan pihak-pihak yang diharapkan.
Sehingga, aksi kekerasan mereka dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan secara akurat demi mendapatkan keadilan yang diinginkan dan meminta perhatian. Dalam hal ini, laras senjata dipakai sebagai senjata atau sarana yang paling ampuh untuk memperoleh keinginan yang dimaksud.
Tetapi, bagaimana jika pandangan ini dikaitkan dengan aksi brutal yang dilakukan Israel terhadap Hamas dengan jatuhnya korban yang banyak dari kalangan masyarakat sipil Palestina?
Menurut John Galtung dalam Violence, Peace and Peace Researh (1996), pertama, kekerasan politik bersenjata seperti yang dilakukan bangsa Israel, diambil sebagai misteri aksi, sebab dia mengedepankan rasa takut atau mempertontonkan ketidakpercayaan diri di tengah masyarakat bangsa lainnya.
Kedua, kekerasan politik merupakan cara yang masih diyakini bangsa Israel sebagai cara yang paling efektif dalam berkomunikasi untuk memenangkan dialog.
Berbagai aksi kekerasan politik yang dipertontonkan dengan unsur pemaksaan kehendak dengan caracara biadab-perang, memperlihatkan kebuntuan akal sehat dan hilangnya kecerdasan dialog serta kegagapan komunikasi antarkomunitas bangsa.
Pada gilirannya pula, kekerasan politik bertentangan dengan budaya politik modern yang mengandalkan kesantunan dan rasionalitas. Dalam hal komunikasi dan dialog-dialog cerdas merupakan cermin dari masyarakat beradab, sedangkan kekerasan politik-bersenjata mengantarkan publik menjauhi peradaban.
Sebuah masyarakat bangsa dan negara, seperti Israel yang tidak memaksimalkan dialog, merupakan cermin dari ketidakmampuan mereka untuk bersikap terbuka dalam berpolitik secara cerdas, rasional, dan sehat. Di situ, kekuatan otot, nafsu, dan emosi mengalahkan kekuatan akal sehat dan kemampuan rasionalitas bangsa Israel. Rasionalitas bangsa Israel dikangkangi egoisme dan kepentingan diri.
Dengan demikian, jika bangsa Israel ingin menjadi sebuah bangsa yang beradab dan terhormat di Timur Tengah, mereka harus segera menumbuhkan kecerdasan dialog lewat bangunan instrumen dialogis dan melalui cara-cara yang elegan dan beradab di bawah kendali akal sehat sebagai simbol kecerdasan dan keadaban bangsa Yahudi untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapinya.
*Bagian artikel Thomas Koten yang tayang di Harian Republika pada 2009