REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Tekanan terhadap Muslim di Prancis, termasuk organisasi Islam dan masyarakat sipil, terus meningkat dalam beberapa pekan terakhir sejak pemerintah mengumumkan upayanya untuk melawan "separatisme Islam".
Pada 1 September, majalah mingguan Prancis Charlie Hebdo menerbitkan ulang kartun penghinaan terhadap Nabi Muhammad menjelang persidangan atas serangan pada 2015 di kantor mereka. Kurang dari sebulan kemudian, dua orang terluka dalam serangan pisau di dekat bekas kantor Charlie Hebdo.
Serangan pada 25 September yang diikuti pidato kontroversial Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 2 Oktober, di mana dia mengumumkan rencana untuk mengatasi "separatisme Islam" dan merestrukturisasi Islam di Prancis.
Pemerintah di Prancis segera memulai operasi melawan organisasi dan tempat ibadah Islam atas nama "memerangi radikalisme". Tekanan terhadap umat Islam di negara itu semakin meningkat setelah Samuel Patty, seorang guru Prancis yang memperlihatkan kartun penghinaan Nabi Muhammad di kelas, dibunuh pada 16 Oktober.
Dalam pembelaan mereka, Macron mengatakan Prancis "tidak akan mengalah atas kartun kami" setelah pembunuhan brutal itu. Pernyataannya itu memicu kemarahan di dunia Muslim dengan banyak yang menyerukan boikot produk Prancis.
Kartun provokatif tersebut juga dipajang di beberapa hotel dan gedung resmi di kota Montpellier, Toulouse dan Beziers.
Islamofobia di Prancis
Polisi Prancis menggerebek rumah tokoh besar Muslim setelah pembunuhan brutal Samuel Paty. Pemerintah mendeportasi 200 orang dan lebih dari 50 asosiasi, serta organisasi-organisasi Islam sedang diselidiki.
Beberapa organisasi, seperti Collective against Islamophobia in France (CCIF) dan Barakacity dibubarkan. Langkah pemerintah tersebut tampaknya semakin memicu Islamofobia di masyarakat Prancis.
Pada 18 Oktober, dua wanita Muslim asal Aljazair ditikam di dekat Menara Eiffel di Paris. Dua hari kemudian, di kota Nimes, seorang wanita yang diduga mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya menelepon polisi untuk melaporkan suaminya yang beragama Katolik sebagai "seorang Islamis radikal."
Pada 22 Oktober, di kota Angers, dua warga negara Yordania diserang karena berbicara bahasa Arab.
Pelajar dan masjid juga menjadi sasaran
Di kota Blois, seorang warga Chechnya berusia 22 tahun ditahan karena menyukai foto pembunuhan guru Prancis di media sosial. Lebih jauh ke selatan, seorang siswa Afghanistan berusia 14 tahun dilaporkan ke polisi Marseille oleh gurunya karena menyambut baik pembunuhan Paty. Tujuh keluhan serupa lainnya dilaporkan di wilayah yang sama.
Minggu lalu di Albertville, tenggara Prancis, empat anak sekolah dasar "diteror" dan ditahan selama lebih dari 11 jam oleh polisi atas tuduhan "membenarkan terorisme". Sebuah pesan ancaman dikirim ke sebuah masjid di bawah Visi Nasional Masyarakat Islam (CIMG) di Chateaudun, Prancis, berisi "Perang telah dimulai, kami akan mengusir Anda dari negara kami."
Politisi Prancis dan Islamofobia
Menteri Ekonomi Bruno Le Maire menuduh beberapa kota telah "menyerah pada ide politik Islam" karena mengizinkan sesi khusus untuk wanita di kolam renang. Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Geral Darmanin mengatakan bahwa menolak dokter atau guru lawan jenis akan didenda berdasarkan undang-undang baru yang menentang "separatisme Islam".
Jurnalis feminis Prancis Elisabeth Levy menyarankan umat Islam yang mengenakan jilbab melepas penutup rambut mereka selama beberapa hari untuk menghormati peringatan tentang guru yang terbunuh.