REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekebalan kelompok (herd immunity) sempat disebut-sebut sebagai salah satu cara yang dianggap dapat membantu menghentikan pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini. Strateginya ialah dengan membuat virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) yang menyebabkan Covid-19 dibiarkan menyebar, secara khusus di kalangan anak muda.
Seiring dengan cukup banyak populasi yang terinfeksi, tubuh masyarakat diharapkan dapat membentuk kekebalan. Penyebaran lebih lanjut pun dianggap tidak mungkin terjadi.
Strategi itu tidaklah etis, menurut mantan pejabat di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat (AS), Ali Mokdad. Ia bahkan memprediksi herd immunity justru dapat menjadi sebuah bencana besar.
"Itu kriminal dan tidak etis, karena kita membiarkan masyarakat meninggal alih-alih melindunginya. Ini tidak bisa diterima," ujar Mokdad, dilansir NBC News, dikutip Jumat (13/11).
Sebagian besar ahil penyakit menular juga telah mengkritik strategi kekebalan kelompok. Gagasan yang semula isu pinggiran ini secara terbuka diterima oleh Pemerintah AS setelah tiga ilmuwan merilis pernyataan kontroversial yang dikenal sebagai Great Barrington Declaration. Para ahli epidemiologi dan ahli kesehatan masyarakat dengan cepat meluruskan pemahaman yang keliru soal penanganan pandemi tersebut.
Ketika kasus Covid-19 melonjak di sebagian besar negara bagian AS dan jumlah rawat inap mencapai rekor tertinggi, para ahli mengatakan bahwa menjajakan gagasan tentang kekebalan kelompok sangat berbahaya. Pesan kesehatan masyarakat yang selama ini tak konsisten digaungkan Pemerintah AS akan semakin buram jadinya.
"Kita masih memiliki jalan panjang menuju kekebalan kelompok, ketiadaan vaksin. Jika kita berbicara tentang herd immunity pada tingkat kematian saat ini yang kita lihat dari infeksi, maka setidaknya akan terjadi 1,2 juta kematian," jelas Mokdad.
Untuk Covid-19, diperkirakan sekitar 60 hingga 70 persen populasi harus kebal untuk mencapai herd immunity. Ada dua cara utama agar suatu populasi dapat mencapai tingkat kekebalan yang tinggi.
Pertama, kekebalan kelompok bisa tercapai jika vaksin yang efektif sudah ada. Kedua, ada cukup banyak orang yang telah terinfeksi oleh SARS-CoV-2 dan sistem kekebalan mereka berhasil mengembangkan antibodi untuk melindungi dari infeksi di masa mendatang.
Faktanya, kekebalan kelompok diangap jauh di bawah tingkat yang dibutuhkan untuk memperlambat penularan. Tengok saja kejadian di daerah yang terpukul paling parah di AS, seperti New York yang merupakan episentrum pandemi. Lihat pula apa yang berlangsung di South Dakota yang memberlakukan sedikit aturan pembatasan hingga menyebabkan kasus Covid-19 di seluruh negara bagian melonjak lebih dari 50 persen hanya dalam sepekan terakhir.
Dalam Great Barrington Declaration, kebijakan pembatasan yang menutup bisnis, sekolah, dan bagian lain dari ekonomi lokal dinilai tidak hanya merusak secara finansial, tetapi juga membawa kerugian fisik dan mental. Para ilmuwan mengusulkan strategi perlindungan terfokus pada tujuan untuk melindungi mereka yang paling rentan, yaitu individu berusia di atas 70 tahun dan mereka yang memiliki kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya, sambil memungkinkan populasi lainnya untuk kembali pada kehidupan normal.
Di lain sisi, para kritikus deklarasi tersebut mengatakan, cara paling efektif untuk melindungi mereka yang rentan adalah dengan mengontrol jumlah penyebaran virus di komunitas. Stuart Ray, seorang profesor kedokteran di Universitas Johns Hopkins, mengatakan bahwa alih-alih membahas respons kekebalan kelompok, yang disebut olehnya sebagai sesuatu yang mengganggu, setiap negara bagian di AS harus fokus pada strategi yang berhasil, seperti mengenakan masker, menjaga jarak sosial, mencegah adanya pertemuan orang dalam skala besar, dan menerapkan kebersihan tangan yang baik.