Jumat 13 Nov 2020 17:33 WIB

Di Balik Agenda Rasisme Israel Terhadap Warga Arab Palestina

Upaya meminggirkan warga Arab Palestina terus dilakukan Israel

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Upaya meminggirkan warga Arab Palestina terus dilakukan Israel.  Ilustrasi penghancuran bangunan milik warga Palestina
Foto:

Dalam pemilihan umum Israel pada Maret 2020, partai-partai politik Arab Palestina yang bersatu yang bersaing di bawah wadah kelompok tersebut, The Joint List, mencapai keberhasilan pemilihan terbesar mereka. Mereka muncul sebagai partai politik terbesar ketiga di Israel.

Keberhasilan ini membunyikan lonceng peringatan di kalangan elite penguasa Yahudi Israel, yang mengarah pada pembentukan 'pemerintahan persatuan' Israel saat ini. Dua partai politik utama Israel, Likud dan Kahol Lavan, memperjelas bahwa tidak ada partai Arab yang akan dimasukkan dalam koalisi pemerintah manapun.

Konstituensi politik Arab yang kuat mewakili skenario mimpi buruk bagi perencana pemerintah Israel, yang terobsesi dengan demografi dan marjinalisasi orang Arab Palestina di setiap arena yang memungkinkan. Karena itu, perwakilan komunitas Arab Palestina di Israel menjadi sasaran tekanan politik.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada September 2019, kelompok hak asasi manusia, Amnesty International, mengungkapkan bahwa anggota Knesset yang merupakan warga Palestina di Israel semakin menghadapi serangan diskriminatif.

"Meskipun terpilih secara demokratis seperti rekan-rekan mereka yang Yahudi Israel, Anggota Knesset Palestina adalah target diskriminasi yang mengakar dan pembatasan yang tidak semestinya yang melumpuhkan kemampuan mereka untuk berbicara dalam membela hak-hak rakyat Palestina," kata Amnesty International.

Pengungkapan ini dikomunikasikan Amnesty sebelum Pemilu 27 September lalu. Penargetan warga Palestina di Israel mengingatkan pada pelecehan serupa dan penargetan pejabat dan partai Palestina di Wilayah Pendudukan, terutama sebelum pemilihan lokal atau umum.

Sementara itu, Israel memandang penduduk Arab Palestinanya sendiri melalui prisma yang sama dengan pandangannya terhadap orang-orang Palestina yang diduduki secara militer. Sejak pendirian Israel di atas reruntuhan Palestina yang bersejarah dan hingga 1979, Israel mengatur penduduk Palestina melalui Peraturan Pertahanan (Darurat). 

photo
Muslim Palestina menghadiri sholat Jumat di kompleks masjid Al-Aqsa di kota tua Yerusalem. - (Arab News)

Sistem hukum sewenang-wenang itu memberlakukan banyak pembatasan pada orang-orang Palestina yang diizinkan untuk tetap tinggal di Israel setelah Nakba 1948, atau pembersihan etnis Palestina.

Namun dalam praktiknya, aturan darurat tersebut sebatas mengangkat nama. Aturan itu didefinisikan ulang, dan diganti sesuai kelompok hak Adalah yang berbasis di Israel. Lebih dari 65 undang-undang secara langsung menargetkan minoritas Arab Palestina di Israel. Hukum Negara-Bangsa, yang mengabaikan status hukum dari minoritas Arab Israel, karenanya, perlindungan sesuai hukum internasional, lebih jauh menekankan perang tanpa henti Israel terhadap minoritas Arabnya.

Selain itu, menurut Adalah, definisi Israel sebagai 'Negara Yahudi' atau 'Negara Rakyat Yahudi' membuat ketidaksetaraan menjadi kenyataan praktis, politik dan ideologis bagi warga Palestina di Israel.

Namun demikian, Baroud menyebut bahwa rasisme Israel tidak acak dan tidak bisa begitu saja diklasifikasikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia lainnya. 

Hal ini adalah inti dari rencana canggih yang bertujuan pada marjinalisasi politik dan pencekikan ekonomi terhadap minoritas Arab Palestina di Israel dalam kerangka konstitusional, sehingga menjadi kerangka 'legal'. 

Tanpa sepenuhnya menyadari tujuan akhir dari strategi Israel ini, warga Palestina dan sekutunya tidak akan memiliki kesempatan untuk memeranginya dengan baik sebagaimana mestinya.

Sumber: https://www.milligazette.com/news/8-international/33737-escalating-the-demographic-war-the-strategic-goal-of-israeli-racism-in-palestine/  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement