REPUBLIKA.CO.ID, CHISINAU -- Masyarakat Moldova kembali menyambangi tempat pemungutan suara pada Ahad (15/11). Mereka memilih presiden, pejawat yang pro-Rusia atau penantangnya, mantan ekonom Bank Dunia yang pro-Barat.
Penantangnya mantan Perdana Menteri Maia Sandu berhasil memenangkan putaran pertama pada 1 November lalu. Di putaran kedua ini tinggal dua dari delapan kandidat yang tersisa.
Di putaran pertama, Sandu berhasil memenangkan 36 persen suara. Dia unggul 3,5 poin dari pejawat Presiden Igor Dodon. Pemilihan presiden di negara kecil yang diapit Ukraina dan Romania ini diperlakukan seperti referendum.
Masyarakat seakan-akan memilih visi antara berpihak pada Rusia atau condong ke Barat. Presiden Rusia Vladimir Putin tampaknya berharap Dodon memenangkan pemilihan ini. Sandu sudah menjadi rival Dodon sejak pemilihan 2016 lalu.
Sejak merdeka pada 1992 usai Uni Soviet runtuh pada tahun 1991, Moldova terpecah menjadi dua kelompok. Antara mereka yang lebih suka memiliki hubungan baik dengan Uni Eropa atau memiliki koneksi kuat dengan Moskow.
Pada 2014 ketika negara itu diperintah oleh koalisi pro-Eropa, negara dengan 3,5 juta penduduk itu menandatangani perjanjian untuk mendekatkan hubungan ekonomi dan politik dengan blok tersebut. Namun Brussel mulai kritis dengan kemajuan reformasi yang dijanjikan Moldova. Sandu yang pernah menjadi ekonom Bank Dunia berjanji apabila terpilih menjadi presiden ia akan mengamankan dukungan finansial dari Uni Eropa.