Selasa 17 Nov 2020 12:28 WIB

Perdana Menteri Israel Netanyahu akan Berkunjung ke UEA

Kunjungan Netanyahu akan jadi yang pertama sejak normalisasi hubungan Israel-UEA

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
 Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu
Foto: AP/Emil Salman/Pool Haaretz
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dilaporkan berencana melakukan kunjungan ke Uni Emirat Arab (UEA) pada Desember mendatang. Itu akan menjadi perjalanan resmi pertamanya sejak kedua negara melakukan normalisasi diplomatik.

Dilaporkan Anadolu Agency, surat kabar Israel Yedioth Ahronoth dalam laporannya pada Senin (16/11) menyebutkan kunjungan Netanyahu dilakukan atas undangan resmi Putra Mahkota UEA Mohammed bin Zayed Al Nahyan. Bulan lalu, situs The Hebrew Walla, mengutip keterangan sejumlah pejabat Israel, mengatakan Netanyahu mencegah menteri di kabinetnya mendahuluinya melakukan perjalanan ke UEA.

Baca Juga

Netanyahu ingin menjadi pejabat tinggi pertama Israel yang berkunjung ke Abu Dhabi. Menurut situs The Hebrew Walla, sejumlah menteri Israel telah menghubungi kantor Netanyahu dan menyampaikan minat mereka berkunjung ke UEA untuk mengadakan pertemuan dengan rekan-rekannya di negara Teluk tersebut.

Di antara menteri yang ingin melakukan perjalanan ke UEA adalah Menteri Transportasi Miri Regev. Namun Netanyahu menolak permintaan para menterinya. Alasannya karena dia ingin menjadi pejabat dan politisi Israel pertama yang menginjakan kaki di UEA setelah perjanjian normalisasi diplomatik.

Pada 15 September lalu, Israel menandatangani perjanjian normalisasi diplomatik dengan UEA dan Bahrain. Perjanjian itu diresmikan di Gedung Putih dan disaksikan langsung Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kesepakatan normalisasi antara Israel, UEA, dan Bahrain dikenal dengan Abraham Accords.

Trump sempat menyatakan masih terdapat beberapa negara Arab yang akan mengikuti jejak UEA dan Bahrain. Palestina telah mengecam perjanjian normalisasi diplomatik. Ia  menyebut hal itu sebagai sebuah pengkhianatan atas perjuangannya memperoleh kemerdekaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement