REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan para pemimpin dari 21 negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang akan berlangsung minggu ini diharapkan turut membahas isu distribusi vaksin Covid-19, khususnya terkait kerja sama rantai dingin (cold chain), di samping membicarakan tantangan sektor perdagangan.
Pembahasan mengenai sistem rantai dingin penting karena distribusi vaksin Covid-19 membutuhkan alat pendingin khusus agar kualitas anti-virus tetap terjaga sampai akhirnya diterima oleh masyarakat, kata analis kebijakan Sekretariat APEC, Emmanuel San Andres saat sesi pengarahan media, Rabu (18/11).
"Isu itu perlu untuk dibahas dalam pertemuan dan saya harap forum tersebut tidak hanya membahas isu-isu perdagangan, tetapi juga kesehatan," kata dia.
Sejauh ini, sebagian besar vaksin, termasuk calon vaksin Covid-19, harus selalu berada di ruangan bersuhu minus derajat Celsius agar tidak rusak. Kandidat vaksin Covid-19 buatan Moderna, misalnya, harus disimpan di suhu minus 20 derajat Celsius dalam waktu yang lama agar dapat tahan dalam suhu 2-8 derajat Celsius dalam waktu 30 hari. Sementara itu, calon vaksin Covid-19 buatan Pfizer dan BioNTech harus disimpan dalam suhu minus 70-80 derajat Celsius agar kualitasnya tetap terjaga.
Kebutuhan untuk menjaga vaksin tetap berada di suhu minus puluhan derajat Celsius jadi tantangan tersendiri tidak hanya bagi perusahaan, tetapi juga negara-negara penerima, khususnya terkait proses pengadaan dan distribusi. Oleh karena itu, Emmanuel menegaskan kesiapan sistem rantai dingin perlu jadi fokus pertemuan para pemimpin negara anggota APEC, khususnya saat membahas kerja sama pengadaan vaksin Covid-19.
Di samping masalah vaksin dan pandemi Covid-19, pertemuan para pemimpin APEC yang dijadwalkan berlangsung secara virtual pada Jumat (20/11) diharapkan juga membahas sejumlah tantangan perdagangan dalam kurun waktu 20-30 tahun ke depan, kata Direktur Kebijakan Sekretariat APEC, Denis Hew.
"Ada beberapa tantangan yang akan dihadapi negara-negara di kawasan dalam 20-30 tahun ke depan, misalnya mengenai kecerdasan buatan dan teknologi digital, tantangan demografi, sebagaimana kita tahu beberapa negara saat ini menghadapi populasi yang didominasi penduduk lanjut usia, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," kata Hew.
Ia menambahkan banyak anggota APEC merupakan negara berpenghasilan menengah yang rentan terkena jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). "Oleh karena itu, kita juga harus membahas pentingnya berinovasi dan meningkatkan keahlian para pekerja di kawasan," kata Hew.
Dalam sesi yang sama, Direktur Eksekutif Sekretariat APEC Rebecca Sta Maria, mengatakan pihaknya bersama kelompok kerja yang terdiri dari sejumlah ahli dan praktisi juga telah membuat refleksi dan proyeksi ekonomi di kawasan dalam 20-30 tahun ke depan.
"Kami telah menyerahkan hasil kajian itu ke para menteri dan jika mereka sepakat dengan hasil pandangan kami, maka itu akan jadi salah satu pesan penting dari pertemuan minggu ini," kata Rebecca.
Untuk pertemuan APEC tahun ini, Malaysia bertindak sebagai tuan rumah yang akan mengurusi rangkaian pertemuan virtual para menteri dan pemimpin negara anggota kerja sama ekonomi di Asia Pasifik bulan ini. Dalam pertemuan puncak pada 20 November 2020, para pemimpin negara anggota APEC diharapkan dapat menyepakati visi baru mengingat "Bogor Goals" yang ditetapkan pada 1994 akan berakhir pada tahun ini.
APEC merupakan forum lintas pemerintah yang beranggotakan 21 negara dan wilayah, yaitu Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chile, China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Amerika Serikat.