REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Anggota parlemen Thailand memberikan suara pada opsi untuk mengubah konstitusi yang tidak akan membahas posisi monarki, pada Rabu (18/11). Kebanyakan dari mereka menentang permintaan dari pengunjuk rasa untuk melakukan perubahan pada peran monarki dan militer yang kuat dalam menentukan pemerintahan.
"Koalisi pemerintah akan memberikan suara untuk menerima dua rancangan, yang tidak mengubah pasal yang terkait dengan monarki, tetapi menahan diri dari pemungutan suara pada rancangan iLaw,” ujar juru bicara pemerintah, Chinnaworn Boonyakiat.
Chinnaworn mengacu pada proposal dari kelompok hak asasi manusia iLaw yang akan memungkinkan posisi kerajaan untuk didiskusikan. Pemerintah telah menyatakan siap untuk mengamandemen konstitusi tetapi tidak menyentuh poin tentang monarki.
Pemungutan suara individu pada setiap proposal oleh 487 anggota parlemen terpilih dan 245 senator diperkirakan akan memakan waktu beberapa jam. "Kami perlu melindungi raja," kata senator Seri Suwanphanon saat berbicara menentang proposal iLaw.
Pemungutan suara dilakukan dengan dorongan tuntutan demonstrasi yang berjalan sejak Juli. Mereka meminta pencopotan jabatan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha yang merupakan mantan pemimpin junta dan mereformasi monarki Raja Maha Vajiralongkorn.
Tapi, tuntutan amandemen konstitusi mengalami kendala akibat pendukung Prayuth memiliki suara mayoritas di parlemen. Dalam penambahan konstitusi negara pada 2107, menempatkan seluruh Senat majelis tinggi ditunjuk oleh junta yang memimpin kudeta 2014.
Hanya satu dari tujuh proposal untuk reformasi konstitusi berpotensi memungkinkan perubahan peran monarki. Padahal, tuntutan perubahan ini, menurut pengunjuk rasa, akan mengurangi dominasi militer selama beberapa dekade di negara Asia Tenggara itu.