REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (AS) FBI mencatat, pembunuhan yang dimotivasi oleh bias menduduki peringkat pertama di tengah meningkatnya kejahatan rasial secara nasional pada 2019. Kriminalitas akibat kebencian di AS juga telah naik ke tingkat tertinggi dalam lebih dari satu dekade.
Laporan yang dirilis FBI pada Senin (15/11) lalu itu juga menyebut setidaknya pembunuhan bermotif kebencian mengalami peningkatan dan meraih jumlah tertinggi sejak pengumpulan data dimulai. Menurut laman Trt World yang dilansir Kamis (19/11), FBI mencatat ada sebanyak 7.314 insiden kriminal dilaporkan.
Angka itu meningkat tiga persen dari tahun sebelumnya. Kejahatan-kejahatan itu pun melibatkan lebih dari 8.500 korban. Angka insiden yang mencapai 7.000 juga telah menjadi tren dalam tiga tahun berturut-turut.
Laporan tersebut disusun oleh program Uniform Crime Reporting (UCR). Mereka mengandalkan data tahun 2019 yang disediakan oleh lebih dari 15.500 lembaga penegak hukum di seluruh AS tentang pelanggaran, korban, pelanggar, dan lokasi kejahatan rasial.
Dari 5.512 kejahatan rasial yang diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap orang, 40 persen kejahatan itu berbentuk intimidasi, 36,7 persen berbentuk penyerangan sederhana, dan 21 persen berbentuk penyerangan yang diperparah.
Sementara, sebanyak 51 kasus berupa pembunuhan; 30 pemerkosaan; dan tiga pelanggaran perdagangan manusia dilaporkan. Ada sebanyak 41 lainnya diklasifikasikan sebagai dalam kategori lainnya.
Hampir setengah dari jumlah rekor pembunuhan bermotif kebencian berasal dari satu serangan terorisme domestik. Serangan yang dimaksud adalah penembakan massal yang menargetkan pembeli Meksiko di Walmart di El Paso, Texas.
Dalam peristiwa itu, ada 23 korban yang terlibat. Dari angka tersebut, 22 termasuk dalam laporan untuk 2019; korban terakhir meninggal kemudian.
Laporan itu mengkhawatirkan sejumlah organisasi advokasi. Presiden dan CEO untuk pelacak kelompok pembenci Southern Poverty Law Center (SPLC), Margaret Huang, mengatakan laporan FBI itu adalah pengingat bahwa kelompok advokasi masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi kebencian di Amerika.
“Setiap insiden ini mewakili penargetan individu atau komunitas untuk kekerasan atau vandalisme karena identitas atau karakteristik pribadinya,” ungkap Huang.
Dia mengatakan peningkatan kejahatan rasial pada 2019 jauh lebih cepat di antara pelanggaran yang paling kejam, yaitu pembunuhan dan penyerangan yang ditujukan kepada kelompok sasaran tertentu seperti Yahudi dan Latin dan di beberapa kota terbesar di negara itu.
Menurut kelompok advokasi lainnya, Anti-Defamation League, FBI mengandalkan pelaporan sukarela lebih dari 15 ribu lembaga penegak hukum yang berpartisipasi di seluruh negeri. Menurut salah satu anggota kelompok advokasi, Sikh Coalition, tahun lalu 86 persen dari mereka tidak melaporkan satu pun kejahatan rasial, termasuk setidaknya 71 kota dengan populasi lebih dari 100 ribu.
Karena itu, sejumlah aktivis menyerukan tindakan legislatif untuk memperbaiki pendataan. Anggota koalisi Sikh, Nikki Singh, mengatakan lebih sedikit lembaga penegak hukum yang memilih untuk melaporkan data ke FBI bahkan ketika kejahatan rasial yang mematikan meningkat.
"Terutama mengingat iklim politik yang memecah belah yang berbahaya selama empat tahun terakhir, kita harus memperhitungkan masalah kebencian di Amerika - tidak terus-menerus menyembunyikannya,” tutur dia.