Senin 23 Nov 2020 18:38 WIB

Survei: Hanya 52 Persen Negara G7 Nyaman Dipimpin Perempuan

Kesuksesan para pemimpin perempuan di dunia atasi pandemi belum bisa ubah persepsi

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
 Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern. Kesuksesan para pemimpin perempuan di dunia atasi pandemi belum bisa ubah persepsi masyarakat. Ilustrasi.
Foto: AP Photo/Mark Baker
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern. Kesuksesan para pemimpin perempuan di dunia atasi pandemi belum bisa ubah persepsi masyarakat. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Penelitian menunjukkan sebagian besar pemimpin perempuan dianggap berhasil mengatasi pandemi Covid-19. Akan tetapi sikap diskriminatif terhadap mereka tidak berubah.

Hanya 52 persen dari seluruh masyarakat negara anggota G7 yang merasa 'nyaman' dipimpin oleh perempuan. Penelitian juga menemukan lebih banyak generasi muda yang berprasangka buruk pada pemimpin perempuan dibandingkan generasi sebelumnya.

Baca Juga

Mulai dari Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern hingga Kanselir Jerman Angela Merkel dipuji atas upaya mereka mengatasi pandemi Covid-19. Namun hampir setengah laki-laki di negara G7 tidak yakin dipimpin oleh perempuan.

World Economic Forum merilis hasil survei perusahaan Kantar yang menemukan hanya 52 persen, yang terdiri dari 49 persen laki-laki dan 59 persen perempuan, masyarakat negara kaya G7 yang nyaman dipimpin perempuan. Kantar mengatakan memang angkanya naik enam poin dibandingkan 2019 lalu. Akan tetapi tidak ada perubahan signifikan dalam indeks yang dinamakan Reykjavik Index for Leadership itu.

Sikap laki-laki dan perempuan terhadap kepemimpinan perempuan di politik dan bisnis tidak terlalu positif. "Saya tidak ingin benar-benar terlihat sebagai kehancuran," kata CEO divisi humas dan salah satu pendiri Kantar Michelle Harrison pada kantor berita Reuters.

"Akan tetapi kami bisa menganggap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan menuju arah yang benar. Kami membuat kemajuan yang sangat besar (sejak 1950-an) tapi saat ini tidak ada yang memberitahu kami berada di era perubahan, dapat justru sebaliknya," kata Harrison.

Ia memperingatkan pandemi dapat mendorong perempuan ke peran tradisionalnya. Penelitian menemukan temuan mengejutkan mengenai lebih banyak generasi muda yang berprasangka buruk pada pemimpin perempuan dibandingkan generasi sebelumnya.

Selisih paling besar terjadi di Inggris, Jerman, dan Prancis. Survei ini melibatkan 23 ribu orang di seluruh negara G7 yakni, Inggris, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) serta India, Kenya, dan Nigeria.

Setiap negara diberi peringkat 0 sampai 10 untuk menilai seberapa nyaman mereka dengan pemimpin perempuan. Inggris dan Kanada naik dengan 81 poin, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 73 dan 77.  

Namun negara G7 secara keseluruhan tidak berubah yang berada di angka 73 kemudian ditarik mundur oleh Italia, Jepang, dan Jerman yang jatuh ke posisi ketiga dengan 66 poin. Sementara Nigeria berada di peringkat paling buncit dengan 47 poin.

Laki-laki muda kurang progresif dibandingkan perempuan muda. Perbedaan paling mencolok terlihat di Italia dan Jerman. Para responden ditanya apakah mereka 'sangat nyaman' dipimpin perempuan.

Inggris yang pernah memiliki dua perdana menteri perempuan berada di posisi atas. Sekitar 69 persen responden mengatakan sangat nyaman dipimpin perempuan. Angka itu sangat jauh dibandingkan Jepang yang hanya 38 persen responden.

Di Amerika Serikat yang baru saja memilih wakil presiden perempuan pertama, Kamala Harris juga berada di peringkat atas. Sekitar 62 persen responden Negeri Paman Sam mengatakan nyaman dipimpin perempuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement