REPUBLIKA.CO.ID, WINA - Dengan meningkatnya rasisme dan diskriminasi terhadap Muslim di Austria, terutama setelah serangan teror pada 2 November lalu, para pemuka agama di Eropa memperingatkan otoritas untuk tidak mengaitkan terorisme dengan agama apa pun.
Setelah pelarangan jilbab dan cadar, serta pelarangan pendanaan asing untuk kelompok agama, politisi populis di Eropa meningkatkan retorika anti-Islam sejak seorang pria bersenjata membunuh empat orang di ibu kota Wina.
Kanselir Austria dari kubu sayap kanan Sebastian Kurz mengumumkan langkah-langkah baru, yang akan menjadikan "politik Islam" sebagai pelanggaran kriminal.
Uskup Bernhard Heitz percaya hanya keadilan yang dapat mencegah terorisme, dan sentimen anti-Islam akan menjadi kontraproduktif.
"Perwakilan Muslim, seperti perwakilan dari agama lain, telah menjauhkan diri dari serangan baru-baru ini di Paris, Nice, Dresden, dan Wina... retorika kubu sayap kanan dan menoleransi sentimen anti-Islam akan menjadi kontraproduktif," kata Heitz kepada Anadolu Agency.
"Gagasan untuk memantau kelompok populasi tertentu, dalam hal ini penduduk Muslim Austria, akan merusak rasa saling percaya di antara masyarakat, kohesi sosial, dan perdamaian, dan oleh karena itu tidak dapat diterima untuk semua," lanjut dia.
Imam Ramazan Demir, yang telah bekerja dengan Muslim yang dipenjara di seluruh Austria selama bertahun-tahun, mengatakan terorisme dan kekerasan tidak dapat dikaitkan dengan agama atau kelompok etnis mana pun.
Dia menekankan bahwa "tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama Islam" kebanyakan merugikan Muslim. “Ada seorang Muslim di antara korban serangan teroris di Wina. Teroris tidak membeda-bedakan korban yang mereka serang," ujar dia.
Dia menambahkan bahwa kurangnya definisi konsep "politik Islam," adalah penyebab keprihatinan di antara lebih dari 500.000 komunitas Muslim di Austria. "Mereka khawatir hak dan kebebasannya dibatasi," kata Demir.
Ketua Rabbi Schlomo Hofmeister mengatakan serangan teroris itu merupakan upaya untuk merusak nilai-nilai seperti toleransi, kepercayaan, dan kebersamaan. Dia turut memperingatkan bahwa kebingungan atas apa yang disebut "politik Islam" dapat menyebabkan diskriminasi terhadap umat beragama.
"Semua orang memahami sesuatu yang berbeda dari ungkapan politik Islam karena belum didefinisikan," tutur dia.
"Pertama-tama, istilah itu perlu dijelaskan... 'Islam politik' dan Islam sebagai agama harus dibedakan secara jelas,” tukas Hofmeister.