REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- General Services Administration (GSA), sebuah badan independen pemerintah di Amerika Serikat (AS), telah mengumumkan bahwa presiden AS terpilih Joe Biden dapat memulai proses transisi secara resmi pada Senin (23/11). Biden kini diperkenankan mengakses jutaan dolar dalam dana federal dan sumber daya lain untuk proses peralihannya menjadi orang pertama di Gedung Putih.
Pemerintahan Biden memikul banyak harapan warga AS, tak terkecuali rakyat Palestina. Selama masa pemerintahan Donald Trump, peluang Palestina untuk dapat menjadi negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya kian tergerus. "Malapetaka" dimulai pada Desember 2017, yakni ketika Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Keputusan itu tak hanya dikutuk Palestina, tapi juga negara-negara Arab dan Muslim. Alih-alih mendengar protes serta kecaman, pemerintahan Trump justru melanjutkan kebijakannya dengan memindahkan kedutaan besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem pada Mei 2018.
Pemerintahan Trump pun berusaha menyangkal hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanahnya yang telah diduduki Israel. Pada September 2018, mantan duta besar AS untuk PBB Nikki Halley menyatakan aspirasi Palestina untuk kembalinya para pengungsi serta keturunannya ke rumah mereka dalam perbatasan sebelum 1967 sudah tak mungkin.
Sebelum 2018 berakhir, pemerintahan Trump memutuskan menghentikan pendanaan rutin untuk Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA). Keputusan itu seketika menyebabkan UNRWA dilanda krisis keuangan. AS merupakan penyandang dana terbesar UNRWA dengan kontribusi rata-rata 300 juta dolar AS per tahun.
Tak berhenti di sana, pemerintahan Trump pun menghentikan bantuan United States Agency for International Development (USAID) untuk Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Langkah-langkah itu dipandang secara luas sebagai cara untuk menekan kepemimpinan agar bersedia terlibat dalam pembicaraan damai dengan Israel.
Setelah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Palestina memang mundur dari perundingan damai yang dimediasi Washington. AS dianggap sudah tidak lagi menjadi mediator yang netral karena memihak pada kepentingan politik Israel.
Pada Januari lalu, pemerintahan Trump merilis rencana perdamaian Timur Tengah, termasuk untuk konflik Israel-Palestina. Rencana ini dikenal sebagai "Kesepakatan Abad Ini/Deal of the Century".
Dalam rencana itu, pemerintahan Trump menawarkan kedaulatan terbatas kepada Palestina di wilayah kecil sekitar 70 persen dari Tepi Barat dan Gaza untuk sebuah negara. Namun, Palestina tak memiliki otoritas atas perairan teritorial, perbatasan atau keamanan.
Rencana tersebut pun menolak klaim lama Palestina atas Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Ia pun kehilangan kendali atas Masjid Al-Aqsa. Palestina dengan tegas menolak Deal of the Century.
Baru-baru ini, AS kembali menjadi momok bagi perjuangan Palestina. Washington membantu proses mediasi normalisasi diplomatik Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan. Hal itu merupakan tamparan keras bagi Palestina.
Apa yang dilakukan UEA dan Bahrain sebenarnya telah mengingkari Prakarsa Perdamaian Arab. Prakarsa itu pada intinya memperkenankan negara Arab membuka hubungan resmi dengan Israel. Namun, Israel harus terlebih dulu menerima solusi dua negara di sepanjang garis perbatasan 1967.
Setelah serangkaian "pukulan" dari pemerintahan Trump, kini harapan Palestina untuk perjuangannya berada di pundak Biden. Saat kampanye Pilpres AS lalu, Biden mengatakan tugas pertamamya terkait konflik Israel-Palestina adalah memperbaiki "kerusakan" yang telah dilakukan Trump.
Biden menganggap langkah pemerintahan Trump terkait konflik Israel-Palestina menghancurkan norma-norma lama dan kebijakan AS selama puluhan tahun. Saat menghadiri acara donor Yahudi AS pada Mei lalu, Biden menyebut akan membalikkan kebijakan Trump yang dinilai dapat merusak kemungkinan perjanjian damai dengan Palestina.
"Saya tidak mendukung aneksasi. Saya akan membalikkan langkah-langkah pemerintahan Trump yang menurut saya secara signifikan melemahkan prospek perdamaian," kata Biden kepada para donor.
Biden pun berjanji memulihkan hubungan diplomatik dengan Otoritas Palestina. "Prioritas sekarang untuk tujuan perdamaian Israel-Palestina harus melanjutkan dialog kami dengan Palestina dan menekan Israel untuk tidak mengambil tindakan yang membuat solusi dua negara menjadi tidak mungkin," ujar Biden.
Bagaimanapun janji-janji Biden masih harus diuji saat dia memerintah. Saat menjadi wakil presiden pada era pemerintahan Barack Obama, Biden dikenal sebagai tokoh yang pro-Israel. Dia membantu memastikan dukungan yang tak tergoyahkan untuk keamanan Israel. Biden pula yang membantu Israel memperoleh teknologi untuk keperluan pertahanan dan militernya, seperti Iron Dome, David's Sling serta sistem pertahanan rudal dan anti-roket Arrow 3.