REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Mendefinisikan tahun 2020 sebagai "tahun yang menantang" untuk semua, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu pada Jumat (27/11) mengatakan bahwa selain Covid-19, Islamofobia sedang meningkat tidak seperti sebelumnya.
Berbicara pada sesi ke-47 Dewan Menteri Luar Negeri Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di ibu kota Niger, negara di Afrika Barat, Niamey, Cavusoglu menyoroti tren meningkatnya wacana Islamofobia, rasisme, dan anti-migran, terutama di Eropa.
"Namun, para migran dan Muslim terus berkontribusi untuk komunitas mereka. Contoh terbaru adalah pengembangan vaksin Covid-19 oleh dua warga Turki yang tinggal di Jerman," kata dia, merujuk pada ilmuwan bernama Ugur Sahin dan Ozlem Tureci.
Mereka menarik perhatian dunia pada November setelah perusahaan mereka BioNTech, bekerja sama dengan perusahaan farmasi raksasa AS Pfizer, mengumumkan tingkat keberhasilan 90 persen dalam vaksin Covid-19. Mengatakan bahwa Eropa kekurangan pemimpin visioner, karena beberapa dari mereka berani mereformasi Islam, Menlu Turki menekankan bahwa perdamaian dan kesejahteraan jutaan Muslim di Barat sedang terancam di bawah perlindungan kontra-terorisme Eropa.
Dalam hal ini, Cavusoglu menyinggung penangkapan anak-anak oleh polisi Prancis, yang ditahan selama lebih dari 11 jam di Albertville, Prancis, atas tuduhan palsu.
"Kita harus sadar akan retorika dan tindakan berbahaya ini dan kita harus mengirimkan pesan yang jelas mengenai garis merah kita," kata dia.
'Menunda rencana aneksasi Tepi Barat adalah penipuan'
Menyinggung proses normalisasi hubungan mendorong Israel dan praktik brutalnya, Cavusoglu menekankan bahwa keputusan Israel untuk menangguhkan rencana aneksasi adalah sebuah tipuan.
“Ekspansi permukiman di Palestina sudah mencapai tingkat tertinggi. Tujuan warga Palestina jelas membuat negara mereka merdeka, berdaulat, dan berkelanjutan,” sebut dia.
Mengingat ada kesalahpahaman yang berkembang bahwa masalah Palestina kehilangan posisinya di mata negara-negara OKI, Cavusoglu memperingatkan bahwa musuh-musuh perjuangan Palestina dapat memanfaatkannya jika negara-negara anggota tidak memperkuat persatuan.
"Jika kita tidak bisa bersatu karena alasan yang menjadi fondasi organisasi ini, bagaimana kita bisa mempertahankan persatuan umat [atau komunitas Muslim] yang akan menganggap serius perkataan kita?" kata dia.
Dalam pidatonya, Menlu Turki juga menegaskan kembali bahwa deklarasi bersama yang ditandatangani oleh Azerbaijan, Armenia, dan Rusia, merupakan langkah menjanjikan menuju perdamaian abadi di kawasan itu.
Cavusoglu menambahkan bahwa suara-suara juga harus diekspos untuk hak-hak dasar dan kebebasan Uyghur, Rohingya, Siprus Turki, dan minoritas Muslim Turki di Yunani serta masyarakat di Jammu dan Kashmir, Muslim di Eropa, dan lainnya.