REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN - Empat hari pasca-pembunuhan ilmuwan nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh, pemerintah dan parlemen negara itu berselisih pendapat soal bagaimana untuk menanggapi pembunuhan. Pemerintahan Presiden Hassan Rouhani bersikeras terhadap ratifikasi parlemen atas "rencana aksi strategis" untuk lebih mengurangi komitmen Iran terhadap kesepakatan nuklir 2015.
Dalam konferensi pers pada Selasa, juru bicara pemerintah Ali Rabiee mengatakan parlemen "tidak memiliki hak" untuk campur tangan dalam hal-hal yang berkaitan dengan kesepakatan 2015. Dia mengatakan keputusan tentang kegiatan nuklir Iran adalah tanggung jawab Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, badan keamanan tertinggi negara itu.
Rabiee berharap masalah itu akan dibahas oleh Dewan Penjaga Iran, badan yang diberi mandat secara konstitusional yang meninjau undang-undang. Sementara parlemen pada Selasa mengadopsi "rencana aksi strategis" yang mengharuskan pemerintah untuk melanjutkan pengembangan 20 persen dan meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya rendah (LEU).
Rencana tersebut, yang dirancang sebagai tindakan balasan terhadap sanksi, menyerukan untuk mengakhiri implementasi "sukarela" dari Protokol Tambahan, dengan memberikan tenggat waktu satu bulan kepada pemerintah.
Rabiee, menyinggung anggota parlemen, mengatakan rencana itu akan mengarah pada sanksi permanen terhadap Iran. Dia mengatakan kesepakatan 2015 tidak berpengaruh pada volume dan kuantitas numerik uranium yang diperkaya Iran, karena negara itu terus memproduksi 250-300 kilogram uranium yang diperkaya setiap bulan.
Pemerintah Iran mendapat tekanan dari anggota parlemen yang menyerukan "pembalasan yang kuat" atas pembunuhan itu. Rabiee mengatakan pemerintah "berjanji untuk mengerahkan semua kekuatannya untuk mengejar dan menghukum para pelakunya", dan pada saat yang sama "melanjutkan upaya Fakhrizadeh”.
Pemerintah bersumpah berikan tanggapan yang tegas
Juru bicara pemerintah mengatakan Iran akan memberikan "tanggapan yang tegas" untuk pembunuhan itu tetapi akan memutuskan waktu, dan tempat untuk melakukan "balas dendam" segera. Pemerintahan Rouhani menghadapi kritikan dari para anggota parlemen, yang mengaitkan pembunuhan itu dengan negosiasi kesepakatan nuklir dan inspeksi oleh badan nuklir PBB.
Rabiee menyebut ini sebagai "fitnah", menambahkan bahwa negara sedang melewati fase kritis ketika seseorang tidak boleh "mengikuti tujuan politik jangka pendek" yang menumbuhkan "suasana yang tidak menguntungkan".
Dia menambahkan bahwa Kementerian Intelijen beberapa bulan lalu menjajaki kemungkinan "operasi teroris" dengan rincian tentang kemungkinan lokasi dan tujuannya.