REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Bahrain pada Jumat (4/12) memberikan lampu hijau untuk penggunaan darurat vaksin Covid-19 produksi Pfizer-BioNTech. Keputusan tersebut menjadikannya negara kedua setelah Inggris yang menyetujui vaksin tersebut.
Negara Teluk Arab itu juga memberikan izin penggunaan vaksin Covid-19 milik Sinopharm pada November untuk para pekerja lini terdepan. Bahrain tidak mengungkapkan jumlah vaksin yang telah dibelinya maupun waktu bergulirnya program vaksinasi. Bahrain dan Pfizer tak segera merespons pertanyaan yang diajukan kantor berita The Associated Press.
Sementara itu, Aljazirah melaporkan bahwa Bahrain berhadapan dengan tantangan penyimpanan vaksin. Vaksin produksi Pfizer bersama mitranya dari Jerman, BioNTech, harus disimpan dalam suhu minus 70 derajat Celsius.
"Persetujuan vaksin Pfizer-BioNTech akan menambah fondasi penting yang lebih kuat terhadap penanganan Covid-19 nasional kerajaan tersebut," kata CEO National Health Regulatory Authority (NHRA), Dr Mariam Al Jalahma melalui pernyataan.
Sementara itu, pakar penyakit menular terkemuka Amerika Serikat, Anthony Fauci, pada Kamis (3/12) meminta maaf usai meragukan akurasi regulator Inggris, yang merestui vaksin Covid-19 buatan Pfizer. Fauci juga mengakui pekerjaan otoritas kesehatan di Inggris.
"Sebenarnya terjadi kesalahpahaman, dan untuk itu saya meminta maaf, dan saya meminta maaf untuk itu," kata Fauci saat wawancara dengan BBC, setelah pernyataan sebelumnya di stasiun TV CBS disiarkan di Inggris dan menjadi sorotan.