REPUBLIKA.CO.ID, MOSUL-- Sejak penggulingan ISIS pada 2017, pembangunan kembali kota Mosul, Irak, berjalan sangat lambat. Penundaan pembangunan itu disebabkan oleh kurangnya tata kelola yang koheren di tingkat provinsi, di mana Gubernur Niniwe telah diganti tiga kali sejak pembebasan.
Tanpa otoritas pusat untuk berkoordinasi, ditambah tidak ada jaringan entitas yang mengawasi pekerjaan rekonstruksi telah menambah kekacauan. Padahal keterlibatan pemerintah lokal, provinsi, dan federal, hingga organisasi internasional dan kelompok bantuan sangat penting.
Pemerintah telah membuat kemajuan dalam proyek infrastruktur yang lebih besar dan memulihkan layanan dasar ke kota, tetapi masih banyak yang belum selesai. Terlebih lagi ketika pandemi virus corona masuk ke Irak.
Dana yang dialokasikan untuk rekonstruksi oleh Bank Dunia dialihkan untuk membantu pemerintah federal melawan virus corona karena kas negara menyusut dengan jatuhnya harga minyak. Sementara itu, sedikitnya 16.000 warga Mosul mengimbau bantuan tunai dari pemerintah untuk membangun kembali rumah mereka. Wali Kota distrik Mosul, Zuhair al-Araji, hanya 2.000 yang menerima bantuan keuangan.
Kota Mosul adalah tempat ISIS memproklamasikan kekhalifahannya pada 2014. Tiga tahun kemudian, pasukan Irak yang didukung oleh koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) membebaskan kota itu dalam pertempuran yang menewaskan ribuan orang dan membuat Mosul berbentuk reruntuhan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan lebih dari 8.000 rumah Mosul dihancurkan dalam serangan udara hebat untuk membasmi ISIS. Operasi sembilan bulan itu menewaskan sedikitnya 9.000 orang.
“Setelah pembebasan, terjadi kekacauan total. Tidak ada yang punya uang. Perekonomiannya nol," Ahmed Sarhan yang menjalankan bisnis kopi keluarga di kota tersebut.