REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Ketua parlemen Iran pada Selasa (8/12) mengumumkan bahwa "rencana aksi strategis" negara untuk melawan sanksi AS telah menjadi undang-undang, meskipun pemerintah terus menentangnya.
Dalam sebuah pernyataan, Mohammad Baqer Qalibaf mengirim surat kepada sekretariat negara untuk menerbitkan menerbitkan undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan rakyat Iran. Pengesahan dilakukan setelah Presiden Hassan Rouhani menolak menandatangani RUU kontroversial yang berjudul Tindakan Strategis untuk Mencabut Sanksi itu.
Pemerintahan Rouhani menyerukan konsensus tentang apa yang mereka sebut sebagai "masalah penting". Menurut pakar hukum, setelah RUU tersebut melalui semua proses hukum, presiden wajib menyetujuinya dan mengumumkan pelaksanaannya. Namun, jika presiden gagal menandatangani undang-undang dalam jangka waktu yang ditentukan, sekretariat negara wajib menerbitkannya atas perintah ketua parlemen.
Anggota parlemen mengesahkan undang-undang itu pekan lalu dan kemudian disetujui oleh Dewan Penjaga, badan pengawas tertinggi negara itu, meskipun ada tentangan keras dari pemerintah. Pemerintah telah memperingatkan bahwa langkah yang dilakukan sebagai tanggapan atas pembunuhan ilmuwan nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh itu bisa membahayakan kegiatan diplomatik.
Undang-undang itu mewajibkan pemerintah untuk melanjutkan pengayaan uranium 20 persen dan meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya rendah. Undang-undang tersebut juga menyerukan diakhirinya implementasi Protokol Tambahan, perjanjian sukarela tentang pengayaan nuklir antara Badan Tenaga Atom Internasional dan negara-negara penandatangan Perjanjian Non-Proliferasi, termasuk Iran.
Pada Kamis, Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif mengatakan pemerintah menentang rencana tersebut, tapi diwajibkan untuk menerapkannya jika disahkan menjadi undang-undang.