REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) Fatou Bensouda mengatakan tidak akan menyelidiki dugaan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan China terhadap etnis Uighur di Xinjiang. Penyebab utamanya adalah karena China bukan negara pihak ICC.
"Prasyarat untuk pelaksanaan yurisdiksi teritorial pengadilan ini tampaknya tidak terpenuhi sehubungan dengan sebagian besar kejahatan yang dituduhkan," demikian bunyi laporan yang dirilis kantor Bensouda pada Senin (14/12), dikutip laman Voice of America.
ICC pun menyebut tidak ada dasar untuk melanjutkan masalah klaim bahwa orang Uighur dideportasi secara paksa dari Tajikistan dan Kamboja kembali ke China. Orang-orang Uighur mengira karena Tajikistan dan Kamboja adalah penandatangan ICC, maka ICC memiliki yurisdiksi untuk bertindak.
Pada Juli lalu, orang-orang Uighur telah memberikan bukti kepada ICC terkait kekerasan yang dilakukan China terhadap mereka. ICC diminta segera menyelidiki hal tersebut. Namun pada Jumat pekan lalu, ICC, seperti dilaporkan surat kabar The Guardian, meminta lebih banyak bukti.
Pekan lalu, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet kembali menyoroti situasi HAM di Provinsi Xinjiang, China. Menurutnya, laporan tentang adanya pelanggaran HAM di sana tetap bermunculan.
“Laporan ini datang dari berbagai sumber. Tapi konsisten dengan praktik kami yang biasa, tim saya mencoba untuk memvalidasi materi yang kami terima tentang masalah ini,” kata Bachelet pada Rabu (9/12), dikutip laman Yeni Safak.
Menurut dia, saat ini kantornya masih melanjutkan komunikasi dengan Pemerintah China untuk membahas kunjungan ke negara tersebut. Dia berharap proses itu akan menghasilkan akses yang berarti bagi tim PBB.
Saat berbicara di Dewan HAM PBB pada Februari lalu, Bachelet menyerukan akses untuk penyelidikan kondisi HAM di China. “Kami akan berusaha menganalisis secara mendalam situasi HAM di Cina, termasuk situasi anggota minoritas Uighur,” katanya.
Dia menekankan akan tetap berupaya memperoleh akses untuk melakukan hal itu. “Kami akan terus meminta akses tak terkekang bagi tim terdepan dalam persiapan untuk kunjungan yang diusulkan ini,” ujar Bachelet.
China telah dituding melakukan pelanggaran HAM secara terstruktur, sistematis, dan masif di wilayah Xinjiang. Beijing dilaporkan menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur di kamp-kamp interniran. Aktivitas indoktrinasi agar mereka memuja pemerintah dan Partai Komunis China (PKC), termasuk Presiden Xi Jinping, dilakukan secara intensif.
China telah membantah semua tudingan dan laporan tersebut. Mereka tak menyangkal keberadaan kamp-kamp di Xinjiang. Namun, Beijing mengklaim mereka bukan kamp penahanan, tapi pusat pendidikan vokasi. Pusat itu sengaja didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan dan keahlian kepada warga Uighur dan etnis minoritas lainnya. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang dapat berkurang.