REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Dewan Pemerintahan China sedang menyusun peraturan mengenai penghapusan data pribadi warga setempat setelah 60 hari masa darurat kesehatan Covid-19. Munculnya kasus seorang pengidap Covid-19 di Provinsi Sichuan yang mengalami perundungan menjadi latar belakangnya.
Institusi yang fungsinya seperti kabinet tersebut akan memerintahkan satu lembaga yang selama ini mengumpulkan data personal untuk menghapusnya dalam waktu tertentu, demikian media China melaporkan, Rabu. Selama ini, otoritas pencegahan dan pengendalian wabah Covid-19 mengumpulkan data personal di satu tempat yang ditemukan kasus positif.
Data personal tersebut mencakup nomor identitas kependudukan, nomor telepon seluler, dan bahkan pemindaian wajah. Beberapa kota di China, terutama Beijing, menerapkan kode kesehatan di setiap area publik, seperti stasiun kereta api, bandar udara, pusat perbelanjaan, tempat ibadah, dan instansi pelayanan umum.
Kode kesehatan didapat dengan cara seseorang memindai barkode melalui WeChat atau Alipay. Di dalamnya terdapat data diri, seperti nama, nomor telepon, nomor identitas kependudukan, atau nomor paspor bagi orang asing, dan rekam jejak dalam 14 hari terakhir.
"Pengumpulan data pribadi terkait pengendalian wabah bisa diterima, namun setelah semua usaha selesai, data itu sudah tidak diperlukan lagi dan seharusnya dihapus," kata Prof Zhu Wei dari China University.
Pengumpulan data dengan cara tersebut memang diterima publik, meskipun dibayangi kekhawatiran penyalahgunaan. Seorang perempuan bermarga Zhao di Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, pekan lalu menjadi target perundungan, setelah dia dan kakeknya dinyatakan positif Covid-19 pada Selasa (8/12).
Perempuan berusia 20 tahun itu sering kali mengunjungi beberapa tempat, seperti bar dan kelab malam di kotanya. Data pribadi dan nomor teleponnya dibocorkan hingga tersebar luas. Akibatnya, dia beberapa kali menerima telepon dan pesan singkat mengandung perundungan sosial.